Forum Kajian 164, wadah anak muda NU yang mengaji berbagai pikiran dan praktik keagamaan, sosial-politik dan budaya secara kritis. Angkatan baru ini sadar, akar tradisi adalah modal dasar guna menghadapi perubahan. Modernitas berikut praktik2 diskursifnya tidak diterima taken for granted, tapi diapresiasi secara kritis dan selektif dengan menimbang kepentingan sosial. Forum ini hadir guna merefleksikan dan meracik berbagai hazanah tradisional dan produk kekinian itu demi kemaslahatan umat

Saturday, July 22, 2006

Komunitas Epistemis Pergerakan


Oleh: Mh. Nurul Huda


Saat itu hari menjelang sore. Saya tengah mengobrol sambil menikmati sebatang rokok filter berkadar nikotin rendah yang disodorkan seorang kawan lama, mantan aktifis.

Kawan itu rupanya tengah dilanda kedongkolan setelah membaca iklan dukungan kenaikan harga BBM selembar penuh di halaman surat kabar nasional atas nama sebuah lembaga dan didukung sejumlah intelektual, budayawan dan ekonom. Sambil menyemburkan asap rokok dari celah bibirnya, ia meluapkan kedongkolannya: ini arogansi modal dan keterlibatan orang-orang ini adalah sebuah “pengkhianatan intelektual”, kata kawan tadi yang sepontan mengingatkan saya pada sebuah karya ortodoks, The Betrayal of Intelectuals, karangan Julien Benda, sang filosof yang oleh para komentatornya disebut sebagai pemikir “kesepian” ini.

Saya mengangguk pelan. Diam-diam sebenarnya saya sulit mengingkari atau sukar membantah kesimpulan lugas itu. Dan memang benar, di hari-hari berikutnya, iklan tersebut menerima kritik luas dan tajam bahkan sampai hujatan kasar yang lebih ganas dari nada kawan tadi. Tapi diam-diam pula saya mulai memikirkan sesuatu yang lain, tepatnya mengangan-angankan sesuatu yang lain itu. Belum sempat memerikan khayalan itu, ponsel mungil saya berdering. “Mas, mohon mengisi diskusi dengan materi anu”, terdengar suara perempuan menyelinap halus di sela-sela telinga. “Tapi sebelumnya saya minta ketemu ingin share dulu, tentang PMII”, lanjutnya.

Sapaan dari seorang sahabat dan pembicaraan akrab dengannya benar-benar menggugah. Rupanya ia sedang tercabik-cabik oleh kegelisahan yang mungkin juga dialami kawan-kawan lain. Saya teringat ungkapan yang biasa dilontarkan oleh para pengagum Karl Marx: kaum proletar meraih senjata rohaniahnya dari para filosof dan sebaliknya para filosof memperoleh amunisi materialnya dari proletar. Saya bukan Marx dan juga bukan filosof, tapi kegelisahan kawan perempuan itu berkoinsidensi dengan kegelisahan yang diam-diam juga mendera dan tiba-tiba berkait dengan “sesuatu yang lain” yang pernah saya angankan sebelumnya.

Pikiran saya menerawang dan singgah di hadapan sebuah pertanyaan: bukankah lembaga yang menggelar iklan di atas didukung oleh misi yang jelas (terlepas dari salah atau benar), orang-orang yang handal, lingkungan yang sehat, dan sumber dana yang kuat? Pembicaraan tentang “pengkhianatan intelektual” seperti yang dilontarkan kawan saya itu mari kita tunda dulu, meski bukan berarti kurang penting. Bukankah sebuah organisasi membutuhkan kelengkapan-kelengkapan seperti itu, sesuatu yang jarang kita temukan dalam diri kita.

Saya merekam kegelisahan itu. Ada harapan dan mimpi tentang sesuatu yang lain dalam PMII, dan saya ingin menyebut sesuatu yang lain itu adalah hadirnya sebuah “komunitas epistemis”. Sebagai organisasi kemahasiswaan yang bervisi, mantap dan berpendirian, PMII memiliki tujuan-tujuan yang hendak diperjuangkan dan paradigma tertentu dalam mendekati dan menyikapi realitas, serta berdasarkan tujuan dan paradigma itu segala tindakan anggota dan tindakan politiknya diarahkan. Namun dalam dinamika sejarah yang terus berubah ini PMII juga selalu dituntut untuk selalu merumuskan dirinya agar tidak ketinggalan dengan gerak pacu sejarah. Oleh karena itu, dengan jiwa dan tantangan kesejarahan semacam ini PMII tidak cukup menjadi sebuah “kerumunan” yang berdengung, melainkan gerakan kolektif yang konsisten menjaga jati dirinya dan mengawal proses transformasi sosial yang menjadi arah tujuan hidupnya. Dan saya membayangkan, “komunitas epistemis” ini lahir dari peran keilmuan dan transformasi sosial-politik dari sebuah gerakan kolektif ini.

Jika apa yang saya bayangkan ini cukup realistik, maka setidaknya ada tiga prasyarat yang penting. Pertama, PMII harus menjadi wadah yang nyaman bagi suatu proses intelectual exercise dan perkembangan wacana pemikiran kritis sehingga pada akhirnya mampu merumuskan paradigma gerakan yang tepat dan dapat dipertanggungjawabkan; kedua, PMII harus menyediakan energi yang lumayan untuk terlibat dalam gerakan-gerakan advokasi sosial; dan ketiga, PMII harus menjadi “gerakan politik”.

Saya memberi tanda kutip pada jenis ketiga karena ingin memberi makna khusus di dalamnya. Sebagai bagian dari masyarakat sipil, PMII adalah kelompok kepentingan yang memiliki tujuan dan kepentingan-kepentingan tertentu para anggotanya dan juga kepentingan masyarakat mustadh’afin yang harus dibela dan diperjuangkan. Maka sebagai konsekuensi logisnya PMII harus menjadi “gerakan politik” dalam rangka mendesakkan agregasi kepentingan ini melalui institusi-institusi politik (demokrasi) yang ada.

Mudah-mudahan mimpi ini akan benar-benar hadir mengisi kegelisahan kawan perempuan tadi dan, “kita”. Sebuah mimpi tentang gerakan PMII sebagai gerakan kebudayaan dalam arti seluas-luasnya. Dirgahayu PMII, tangan terkepal dan maju ke muka! []

* Ditulis pertama kalinya pada 18 April 2005


0 Comments:

Post a Comment

<< Home