Forum Kajian 164, wadah anak muda NU yang mengaji berbagai pikiran dan praktik keagamaan, sosial-politik dan budaya secara kritis. Angkatan baru ini sadar, akar tradisi adalah modal dasar guna menghadapi perubahan. Modernitas berikut praktik2 diskursifnya tidak diterima taken for granted, tapi diapresiasi secara kritis dan selektif dengan menimbang kepentingan sosial. Forum ini hadir guna merefleksikan dan meracik berbagai hazanah tradisional dan produk kekinian itu demi kemaslahatan umat

Sunday, July 23, 2006

Negara Perlu Mengurus Kebudayaan?


Oleh Mh Nurul Huda
URUSAN kebudayaan akhirnya diserahkan pada departemen khusus. Meski demikian, pertanyaan mendasar tetap perlu dikemukakan. Perlukah negara mengatur kebudayaan? Jika penting, masalahnya penting bagi siapa?

Persoalan ini mendesak diperbincangkan karena masalah kebudayaan terkait dengan kehidupan berbangsa dan bernegara. Masalah kebudayaan menyangkut pengalaman dan penghayatan masyarakat terhadap lingkungan sekitar, terutama terhadap hidupnya.

Sebagai cakrawala pengalaman hidup, masyarakat memiliki kebebasan menghayati cara dan pandangan hidupnya tanpa harus diintervensi, diatur, atau dipaksa siapa pun, termasuk negara. Bila itu terjadi, risikonya bisa fatal.

Pengalaman rezim Orde Baru memberi pelajaran pahit, betapa kebudayaan menjadi instrumen dalam skenario nasional untuk menundukkan rakyat, dan menjadikan mereka individu-individu yang patuh, tanpa energi kritis. Hal ini bisa dilihat, misalnya, lewat kebijakan bersemboyan "budaya nasional sebagai puncak budaya-budaya daerah" atau penanaman ideologi negara keluarga ala Orba.Contoh pertama memuat kepentingan pemerintah saat itu untuk menyeleksi berbagai macam kebudayaan yang dianut masyarakat yang bisa dianggap menjadi modal "pembangunan". Budaya yang dianggap tak menyokong "pembangunan" dan mendukung "stabilitas nasional" berarti terbelakang, dianggap tak berbudaya (uncivilized). Karena itu, harus dieliminasi. Biasanya budaya semacam itu diperlawankan dengan budaya-budaya yang dianggap lebih membawa unsur kemajuan, "beradab", dan modern.

Secara ideologis, Orba menanamkan kekuasaan melalui pencitraan keluarga Indonesia yang harmonis dan patuh. Melalui manipulasi pencitraan, Orba memerintah negara dan membentuk bangsa bak keluarga harmonis. (Mengenai citra keluarga dalam politik Orba lihat S Shiraishi, Pahlawan-pahlawan Belia, 2001). Dalam perjalanannya, dua "diskursus" strategi budaya versi negara ternyata amat berorientasi harmoni dan totalitarian serta menyembunyikan maksud penyeragaman dan penaklukan.
Dalam diskursus kebudayaan belum pernah ditemukan definisi yang mapan mengenai apa itu kebudayaan. Memang para filsuf, antropolog, sosiolog, dan ilmuwan disiplin lain memberi definisi berbeda-beda. Perbedaan ini menunjukkan, tiap pendefinisian terhadap kebudayaan selalu bersifat perspektivis dan parsial. Maka, makna kebudayaan tak pernah benar-benar netral. Karena itu, selalu bersifat dinamis, bisa dipertukarkan dengan budaya kelompok lain yang berbeda dan tak pernah stabil karena selalu tergantung pada penghayatan serta pengalaman hidup individu dan masyarakat yang pada dasarnya selalu berubah.

Bila definisi minimalis terpaksa diberikan, meski mereduksi makna kebudayaan, misalnya budaya sebagai kepercayaan, nilai-nilai, norma, sentimen, dan praktik-praktik yang memberi makna dan nilai pada kehidupan manusia, siapa yang berhak dan berkompeten secara moral dan epistemologi menafsirkan kebudayaan? Pemerintah atau negara tertentu yang dianggap merepresentasikan rakyat atau bangsanya?

Jawabannya jelas, hanya pemilik dan penghayat nilai-nilai dan praktik kebudayaan itulah yang paling berkompeten menafsirkan. Karena mereka yang mencipta, mengalami, menghayati, dan menghidupi praktik-praktik budayanya. Karena itu, pemerintah atau negara tak berwenang menafsirkan budaya rakyatnya. Pendapat ini didasarkan tiga hal.

Pertama, secara teoritis elite pemerintah atau negara tidak memiliki kapasitas dan kompetensi memahami kebudayaan rakyatnya yang beragam. Kedua, secara empiris para elite umumnya tak memiliki kepedulian, sebaliknya justru merusak kekayaan budaya masyarakat. Hal ini tampak dalam kebijakan kebudayaan Orba dengan memperlakukan secara diskriminatif keberadaan agama dan kepercayaan yang berbeda-beda dalam masyarakat. Ketiga, model negara Leviathan Hobbes, yang menjadi impian para pemimpin totaliter dan biasanya diulang- ulang sebagai dasar negara kedaulatan yang berpretensi menghapus konflik dan memelihara perdamaian, kini sudah dianggap usang karena model ini tak mampu mengakomodasi keragaman kebudayaan dan perbedaan pandangan dalam negara yang plural dan heterogen.

Dalam teori politik modern, negara yang baik dan efektif adalah yang mampu mengurusi seminimal mungkin aneka masalah kemasyarakatan. Karena itu, pemerintah yang selalu bertendensi mengatasnamakan rakyat dan hendak mengurusi semua urusan masyarakat justru harus diwaspadai sebagai upaya mengintervensi kehidupan kultural masyarakat. Kapan rakyat bisa berbicara atas nama sendiri bila representasi kehidupan kulturalnya diambil alih negara?
Dengan adanya departemen kebudayaan dalam susunan kabinet, sebenarnya menunjukkan, pemerintah masih menggunakan cara-cara dan paradigma Orba dalam manajemen politiknya. Bukan hanya kekhawatiran soal munculnya militerisme, tetapi juga kembalinya pandangan tradisional yang menganggap negara menjadi semacam panasea atau institusi politik yang berpretensi menyelesaikan segala persoalan dan semua urusan masyarakat. Hal ini akan melahirkan bencana dan risiko politik.
Pertama, ini membuat ruang kreatif masyarakat untuk mendiskusikan dan menyelesaikan aneka persoalannya kian sempit. Mekanisme dialog antarmasyarakat akan sarat diwarnai formalisme dan berkurangnya inisiatif masyarakat akibat pendekatan politik yang top-down.
Kedua, munculnya departemen kebudayaan akan menjadi semacam "kuda troya" bagi masuknya ragam kepentingan politik untuk menaklukkan dan melumpuhkan kembali daya- daya kultural masyarakat yang plural. Karena, kebudayaan tak pernah netral, departemen ini akan jadi persaingan dominasi kepentingan dan wacana berbagai kelompok yang mungkin akan menentukan arah kebijakan kebudayaan mendatang.
Ketiga, karena departemen kebudayaan adalah hasil representasi budaya yang diproduksi negara, besar kemungkinan terjadi misrepresentasi atas nilai, sentimen, praktik, dan tuntutan masyarakat atas aspirasi budayanya. Akibatnya, apa yang dibayangkan sebagai jati diri atau nilai budaya bangsa bisa jadi hanya manipulasi kepentingan penguasa. Sebagaimana klaim "nilai-nilai ketimuran", "nilai- nilai Asia", atau "nilai-nilai budaya nasional" yang selama ini digunakan elite penguasa sebagai pembenaran pelanggaran prinsip-prinsip demokrasi dan hak-hak politik masyarakat.
Berbagai persoalan itu adalah risiko ketika negara ditempatkan di atas segala-galanya dengan terlalu banyak mengurusi masalah masyarakat. Masalah ini akan menjadi bencana bila kita terlalu pasrah bongkokan tanpa sikap kritis terhadap kebijakan pemerintah yang telah dipilih secara demokratis ini.
*Artikel ini dimuat di KOMPAS, Sabtu, 27 November 2004

0 Comments:

Post a Comment

<< Home