Forum Kajian 164, wadah anak muda NU yang mengaji berbagai pikiran dan praktik keagamaan, sosial-politik dan budaya secara kritis. Angkatan baru ini sadar, akar tradisi adalah modal dasar guna menghadapi perubahan. Modernitas berikut praktik2 diskursifnya tidak diterima taken for granted, tapi diapresiasi secara kritis dan selektif dengan menimbang kepentingan sosial. Forum ini hadir guna merefleksikan dan meracik berbagai hazanah tradisional dan produk kekinian itu demi kemaslahatan umat

Sunday, July 23, 2006

Pentingnya Negara Mengurus Kebudayaan

Oleh Cecep Rukendi

Akhir-akhir ini kembali muncul diskursus tentang pentingnya pembangunan kebudayaan nasional. Namun di antara penggiat kebudayaan, belum ada persepsi yang sama mengenai siapa yang berhak mengurus kebudayaan. Mh Nurul Huda, peneliti pada Desantara Institute for Cultural Studies misalnya, tidak sepakat dengan dibentuknya sebuah departemen yang mengurus kebudayaan (Kompas, 27/11/2004).

Huda berpendapat bahwa negara atau pemerintah tidak berwenang menafsirkan kebudayaan rakyatnya. Bila negara mengurus kebudayaan rakyatnya, maka yang akan terjadi adalah menyempitnya ruang kreatif masyarakat, terjadinya penaklukan daya kultural masyarakat oleh penguasa, dan misrepresentasi nilai budaya akibat hasil produksi budaya oleh negara. Ini sebenarnya senada dengan apa yang pernah didengungkan oleh Ignas Kleden dekade 1980-an yang menyatakan bahwa struktur (politik) telah mengalahkan kultur (masyarakat) pada saat pemerintah Orde Baru (Orba) berkuasa.

Pendapat tersebut tidak didasarkan pada realitas sosial budaya bangsa kita yang lengkap. Kendati memang ada trauma pada politik budaya Orba dulu ketika kultur (budaya) dimani-pulasi untuk kepentingan status quo penguasa. Pendapat tersebut justru mirip apologi para teknokrat Orba yang mengabaikan pembangunan kebudayaan, karena menganggap pembangunan kebudayaan akan terjadi dengan sendirinya berkat pembangunan ekonomi sehingga tidak perlu perencanaan khusus untuk mengurus kebudayaan bangsa.

Memang tidak akan pernah ada definisi yang seragam tentang kebudayaan. Namun bila semua definisi tentang kebudayaan tersebut dikumpulkan tampak akan ada benang merah bahwa kebudayaan memiliki dua aspek, yaitu aspek statis dan dinamis. Aspek statis merujuk pada benda-benda hasil budaya peninggalan masa lalu dan sekarang.

Sedangkan aspek dinamis dari kebudayaan merujuk pada nilai-nilai, pandangan hidup, norma-norma, kepercayaan, dan hal-hal lainnya yang bersifat abstrak yang selalu mengalami proses reproduksi (dekonstruksi dan rekonstruksi) oleh masyarakat pemilik kebudayaan itu sendiri.
Bisa Berjalan Tanpa Diurus Pemerintah?

Dengan melihat kedua aspek kebudayaan tersebut, justru menunjukkan betapa perlunya negara dalam hal ini pemerintah mengurus kebudayaan bangsa secara terencana dalam suatu departemen yang melaksanakan pembangunan kebudayaan.

Yang paling utama dari aspek statis kebudayaan bangsa kita adalah mengenai masih lemahnya pemeliharaan dan pengelolaan benda-benda hasil budaya serta masih rendahnya apresiasi budaya dan kesadaran sejarah bangsa kita. Ribuan benda dan situs bernilai budaya dan sejarah masih banyak yang terbengkalai dan terancam rusak karena minimnya kualitas sumber daya manusia (SDM) dan anggaran negara untuk memelihara dan mengelolanya. Pertanyaannya adalah apakah hal itu bisa ditangani secara langsung oleh masyarakat? Apakah konservasi candi Borobudur, museum-museum, dan sebagainya bisa berjalan dengan sendirinya tanpa diurus oleh pemerintah?

Dalam aspek dinamis kebudayaan, kita melihat bahwa secara internal betapa masih lemahnya bangsa kita dalam mengelola ratusan perbedaan budaya bangsa sehingga sering terjadi konflik antarsuku bangsa, antarpemeluk agama, antarras, dan antargolongan yang mengancam integrasi atau kesatuan bangsa. Secara eksternal, dalam menghadapi globalisasi, ketahanan budaya bangsa kita juga masih sangat rendah karena tidak adanya jati diri yang menjadi kebanggaan dan filter bangsa kita dalam menghadapi serbuan budaya asing yang tidak semuanya baik.

Bangsa kita juga masih mengalami disorientasi nilai pascaruntuhnya Orde Baru sehingga rasa takut, rasa malu, dan rasa bersalah seolah lenyap dari kehidupan keseharian kita. Sebagian bangsa kita juga tampak kehilangan argumentasi mengapa kita bersatu dalam satu bangsa karena masih abu-abunya pembentukan kebudayaan nasional sebagai tempat berpijak dan tujuan yang hendak dicapai oleh seluruh unsur pendukungnya. Pertanyaannya sekali lagi adalah apakah krisis budaya tersebut akan lenyap dengan sendirinya bila diserahkan pada masyarakat sepenuhnya tanpa ada bantuan dari negara?

Tiga Syarat Pelaksanaannya

Dibentuknya kembali Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (Depbudpar) dalam Kabinet Indonesia Bersatu dengan visi ”terwujudnya jati diri bangsa, persatuan dan kesatuan bangsa dalam kerangka multikultural, kesejahteraan rakyat, dan persahabatan antarbangsa” sebagaimana tercantum dalam rancangan rencana strategis (2005-2009) merupakan suatu langkah yang tepat untuk membangun kebudayaan bangsa yang masih carut-marut tersebut.
Namun, demi tercapainya pembangunan kebudayaan bangsa secara efektif, ada tiga hal yang harus menjadi syarat pelaksanaannya. Pertama, dari segi paradigma, pembangunan kebudayaan harus dilihat sebagai pembangunan harkat dan martabat manusia Indonesia seutuhnya untuk pemajuan peradaban bangsa. Kebudayaan jangan dilihat sebagai komoditi untuk dikonservasi atau komoditi untuk dijual (dieksploitasi) demi kepentingan industri pariwisata semata sebagaimana diresahkan oleh penggiat budaya selama ini.
Kedua, dari segi operasional, meskipun telah berubah status dari kementerian menjadi departemen yang mengurus kebudayaan dan pariwisata, Depbudpar harus tetap memosisikan diri sebagai pembina dan fasilitator yang mendorong dan memberdayakan masyarakat sebagai pelaku utama dalam pembangunan kebudayaan.

Ketiga, dari segi sumber daya manusia (SDM), karena begitu kompleksnya urusan kebudayaan, Menbudpar juga harus melibatkan banyak pihak yang peduli terhadap pembangunan kebudayaan baik dalam perencanaan, pelaksanaan, maupun evaluasi program kegiatannya. Antropolog dan sosiolog yang mendalami aspek dinamis dan segi abstrak kebudayaan, arkeolog yang lebih memahami aspek statis dan wujud fisik kebudayaan, seniman yang terjun dalam dunia praktis dan kebudayaan populer, serta birokrat yang berpengalaman dalam memanajemen program akan memberikan gambaran yang lebih holistik dalam menyusun dan melaksanakan pembangunan kebudayaan.

Dengan ketiga syarat dalam pelaksanaan pembangunan kebudayaan tersebut, kekhawatiran bahwa pemerintah akan memanipulasi kebudayaan demi kepentingan status quo kekuasaannya akan bisa dihindari.

CECEP RUKENDI, staf Litbang Kebudayaan, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. Tulisan ini adalah pendapat pribadi. Tulisan ini dimuat di Sinar Harapan, 11 Desember 2004.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home