Forum Kajian 164, wadah anak muda NU yang mengaji berbagai pikiran dan praktik keagamaan, sosial-politik dan budaya secara kritis. Angkatan baru ini sadar, akar tradisi adalah modal dasar guna menghadapi perubahan. Modernitas berikut praktik2 diskursifnya tidak diterima taken for granted, tapi diapresiasi secara kritis dan selektif dengan menimbang kepentingan sosial. Forum ini hadir guna merefleksikan dan meracik berbagai hazanah tradisional dan produk kekinian itu demi kemaslahatan umat

Sunday, July 23, 2006

Kuasa Ekonomi Politik dan Kebudayaan Masyarakat

Oleh: Antariksa dan Puthut EA.


Berdasarkan referensi langgam kebijakan negara Orde Baru (Orba), Mh Nurul Huda mengkhawatirkan semakin mandulnya kebudayaan masyarakat karena diurus oleh negara (Kompas, 27/11). Urusan kebudayaan adalah urusan para pemilik, penghayat nilai-nilai dan praktik kebudayaan, yaitu masyarakat. Pertanyaan pentingnya adalah benarkah ancaman terhadap mandulnya kebudayaan masyarakat semata-mata datang dari sebuah institusi yang bernama negara? Dan lalu bagaimanakah posisi sesungguhnya negara dalam hal ini?


Ada sekian banyak alasan yang dikemukakan Nurul Huda untuk mendasari kesimpulan bahwa negara tidak perlu mengurus masalah kebudayaan. Salah satunya karena ia percaya pada teori politik modern bahwa negara yang baik dan efektif adalah yang mampu mengurusi seminimal mungkin aneka masalah kemasyarakatan. Selain itu, ia juga melihat setidaknya ada tiga alasan lain. Pertama, negara—yang dalam hal ini adalah elit politik—tidak mempunyai kompetensi dan kapasitas untuk memahami kebudayaan masyarakatnya yang beragam. Kedua, justru sebaliknya, negara bahkan merusak kebudayaan rakyatnya. Dan ketiga, model negara Leviathan tidak mampu mengakomodasi keragaman kebudayaan dan perbedaan pandangan dalam negara yang majemuk.


Sejauh menyangkut ancaman negara terhadap kebudayaan masyarakat, Nurul Huda telah melakukan pemetaan masalah dengan tepat. Tetapi ia lupa, bahwa ancaman terhadap kebudayaan masyarakat tidak hanya datang dari negara (kuasa politik). Ancaman yang tidak kalah bahayanya—atau malah jauh lebih berbahaya—justru datang dari ‘dunia modal’ (kuasa ekonomi). Pada titik persinggungan antara modal, negara, dan masyarakat, maka kita mesti lebih cermat memetakan peran negara—setidaknya perannya sebagai mesin regulasi yang penting. Proses rontoknya kebudayaan masyarakat yang menyangkut kepentingan fundamental mereka justru terjadi karena perselingkuhan kuasa ekonomi dengan kuasa politik, antara modal dengan negara. Alih-alih melindungi dan mengakomodasi hak-hak ekonomi, sosial dan kebudayaan masyarakat, negara telah hampir berperan sempurna sebagai agen yang mengakomodasi kepentingan-kepentingan modal semata.


Dari catatan sejarah kita bisa melihat bagaimana, misalnya, budaya tanah dan pertanian tradisional dirontokkan oleh kebijakan tanam paksa pemerintah kolonial Hindia Belanda dan kebijakan intensifikasi pertanian (Revolusi Hijau) Orba, budaya pengelolaan hutan tradisonal rontok oleh kebijakan HPH (Hak Penebangan Hutan), atau juga bagaimana kesenian tradisi dijinakkan menjadi sekedar hiburan untuk kepentingan pariwisata.


Paham bahwa negara adalah institusi yang netral telah lama kehilangan dasar alasannya. Pertama, karena memang seharusnya negara memperjuangkan kepentingan-kepentingan masyarakatnya. Dan kedua, karena pada praktiknya kita bisa melihat dengan gamblang bahwa banyak kepentingan yang bisa bermain dalam tubuh negara, baik penguasa modal ekonomi lokal maupun modal ekonomi internasional. Tetapi pertemuan negara—yang merupakan representasi elit politik dan kekuatan modal ekonomi nasional—dengan modal internasional memang tidak selalu berjalan mulus.


Dalam Peristiwa Mei 1998 (Reformasi) misalnya, restrukturisasi modal besar-besaran yang terjadi pada 1965, sekalipun ada hambatan dan riak kecil pada 1978, mendapatkan momentumnya pada 1998. Modal ekonomi internasional sudah tidak lagi bisa mengakomodasi ekonomi kroni Orba yang memakan banyak ongkos produksi, memunculkan keresahan sosial, yang pada gilirannya akan membahayakan dan merusak struktur modal mereka. Kepentingan modal ekonomi internasional itu kemudian bertemu dengan kekuatan rakyat yang bermotif perlawanan dan perbaikan ekonomi-politik.


Lalu bagaimana peta kekuasaan negara pascareformasi? Serta bagaimana kelanjutan peta konflik antara kekuatan modal dan kekuatan rakyat di tubuh negara?


Reformasi, seperti dikemukakan secara ringkas di atas, adalah pertemuan sementara antara kepentingan modal ekonomi internasional dengan daya rakyat melawan penindasnya. Oleh karena itu, langgam-langgam kebijakan reformasi kental dengan kebijakan kompromis. Pemilu multipartai, pemilihan presiden langsung, desentralisasi kekuasaan, dan banyak lagi yang lain, sesungguhnya adalah medan yang di dalamnya terjadi perebutan kepentingan terus-menerus antara kekuatan modal dan kepentingan masyarakat. Kebijakan-kebijakan tersebut bisa menguntungkan masyarakat sekaligus bisa membuka potensi yang besar bagi pemilik modal untuk semakin berkuasa. Masyarakat mempunyai peluang yang besar untuk memainkan bandul reformasi ini sesuai dengan kepentingan kelompok, sektor, maupun kepentingan wilayah mereka. Sedangkan penguasa modal ekonomi juga mempunyai potensi untuk bermain sampai tingkat yang paling kecil dan mendasar tanpa harus melewati birokrasi negara yang terpusat seperti di era Orba.


Bagaimanapun juga, kekuatan-kekuatan tersebut haruslah melewati institusi negara sebagai mesin birokrasi. Kekuatan masyarakat perlu meminjam atau memanfaatkan tangan negara untuk memperkuat perjuangannya, dan penguasa modal ekonomi memerlukan birokrasi negara agar bisa mengeluarkan kebijakan-kebijakan ramah modal.


Di wilayah seperti inilah, maka peran negara mesti dilihat secara jeli. Karena tanpa peran negara, kebencian dan trauma masyarakat terhadap negara otoriter Orba, bisa jadi justru akan menikam balik mereka. Lepasnya masyarakat dari otoritarianisme negara, bukan berarti lepasnya masyarakat dari belenggu yang lain. Jika tidak berhati-hati, masyarakat memang bisa lepas dari mulut singa negara, tetapi masuk ke mulut buaya modal. Privatisasi BUMN, swastanisasi lembaga-lembaga pendidikan, dikuasainya hajat hidup masyarakat dalam hal tanah, air, dan sumber-sumber daya alam yang lain, adalah salah satu contoh masuknya masyarakat kita ke dalam mulut buaya modal.


Dengan peta masalah seperti di atas, menurut hemat kami justru negara harus tetap memainkan perannya, tetapi secara proporsional, dan di sisi yang lain masyarakat juga harus bersiasat memanfaatkan peran negara. Kebijakan-kebijakan yang membahayakan kebudayaan dan kepentingan masyarakat dari ancaman modal ekonomi besar haruslah lebih dulu dihadang oleh negara. Apa yang kita alami sekarang memang masih menyisakan tanda tanya besar. Sebagai contoh, kalau dulu di era Orba kebudayaan disandingkan dengan pendidikan dalam Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, maka sekarang perubahannya tidak semakin baik karena kebudayaan diurus oleh Departemen Pariwisata dan Kebudayaan. Terlepas dari politik kebudayaannya yang masih sentralistis—seperti telah disinggung Nurul Huda—penyandingan kebudayaan dengan pariwisata jelas-jelas memerlihatkan dua hal. Pertama, hal ini merupakan upaya mengkomoditaskan kebudayaan.


Dan kedua, hal ini masih melanjutkan “tradisi lama” mereduksi kebudayaan menjadi sekadar kesenian yang steril dan tak ada sangkut-pautnya dengan soal-soal ekonomi politik.Kerja kebudayaan dalam tubuh negara seharusnya menjadi urusan semua departemen. Karena kerja kebudayaan tidak akan pernah bisa lepas dari kerja ekonomi politik. Misalnya, memudarnya kesenian tradisi dan kebijaksanaan lokal, bukanlah semata-mata soal kesenian yang menjadi tanggungjawab sebuah departemen khusus, melainkan hal itu berkaitan dengan masalah kebijakan pendidikan nasional, kebijakan tentang muatan lokal dalam siaran televisi, kebijakan otonomi daerah, kebijakan tentang investasi modal asing, dan sebagainya.


Dengan demikian, kalaupun kerja kebudayaan dilakukan oleh sebuah departemen khusus, maka sifat kerjanya adalah lintas-departemen. Atau tidak perlu ada satu departemen khusus, namun pada masing-masing departemen ada sebuah divisi kebudayaan. Dengan catatan, kedua model tersebut harus mempunyai sikap kebudayaan yang jelas, yaitu berpihak kepada kepentingan masyarakat.


Tetapi sebagaimana disinggung Nurul Huda, pasrah bongkokan kepada negara untuk mengurus kebudayaan adalah juga hal yang berbahaya. Oleh karenaya ada siasat lain yang harus dilakukan masyarakat tanpa sepenuhnya bergantung pada peran negara. Misalnya melakukan penguatan lembaga-lembaga informal masyarakat sebagai sebuah sistem dan budaya tandingan, terutama guna memainkan peran dalam melakukan tawar-menawar dengan kekuasaan negara dan modal (kebudayaan dominan).


Akhir-akhir ini, bolehlah kita sedikit optimis dengan hal tersebut. Banyak sekali organisasi kebudayaan yang dijalankan oleh anak-anak muda, yang menaruh perhatian pada penguatan berbagai kelompok masyarakat. Ini adalah perkembangan yang menggairahkan, sebagai tandingan atas kecenderungan umum untuk membicarakan dan mereduksi kebudayaan sebagai kesenian belaka. Dan celakanya pembicaraan tentangnya melulu ke masalah penafsiran serta kelindan estetika: wacana tak bertaji dan tak jelas guna sosialnya.


ANTARIKSA, peniliti pada KUNCI Cultural Studies Center.
PUTHUT EA, penulis cerita, anggota Akademi Kebudyaan Yogyakarta.

Sumber: www.kunci.or.id/misc/a_negara.htm

0 Comments:

Post a Comment

<< Home