Forum Kajian 164, wadah anak muda NU yang mengaji berbagai pikiran dan praktik keagamaan, sosial-politik dan budaya secara kritis. Angkatan baru ini sadar, akar tradisi adalah modal dasar guna menghadapi perubahan. Modernitas berikut praktik2 diskursifnya tidak diterima taken for granted, tapi diapresiasi secara kritis dan selektif dengan menimbang kepentingan sosial. Forum ini hadir guna merefleksikan dan meracik berbagai hazanah tradisional dan produk kekinian itu demi kemaslahatan umat

Sunday, July 23, 2006

Kebudayaan Madzhab Negara


Oleh: Mh Nurul Huda


Artikel yang sangat menarik dan berbobot ditulis oleh saudara Antariksa dan Puthut EA dengan judul “Kuasa Ekonomi Politik dan Kebudayaan Masyarakat” menanggapi tulisan saya di Kompas berjudul “Negara Perlu Mengurus Kebudayaan?”, dan dimuat kembali di KUNCI.


Beberapa minggu lalu, seorang staf Litbang Departemen Kebudayaan dan Pariwista, Cecep Rukendi, juga menanggapi tulisan saya tersebut dengan judul “Pentingnya Negara Mengurusi Kebudayaan” (Sinar Harapan, 11/12/2004). Tulisan itu dibuat untuk menanggapi tulisan saya di harian Kompas mengenai keberatan dan skeptisisme saya terhadap intervensi negara yang ikut campur dalam mengatur persoalan kebudayaan.


Tulisan saya “Negara Perlu Mengurus Kebudayaan?” pertama-tama lahir karena hendak menggugat betapa besarnya cengkeraman negara dalam denyut nadi kehidupan masyarakat. Dengan gugatan itu saya yakin akan memperlonggar ruang perlawanan-perlawanan kultural masyarakat terhadap dominasi negara. Departemen Kebudayaan dan Pariwisata perlu digugat karena keberadaannya telah membuat kebudayaan sebagai arena resistensi kultural itu menjadi semakin sempit dan sesak. Dan keberatan saya ini sebenarnya sangat jelas terletak pada domain paradigmatik dan analisis terhadap implikasi praktis paradigma tersebut dalam seluruh kehidupan masyarakat.


Inilah yang membedakan pandangan saya dengan pandangan saudara Cecep Rukendi yang tampak dalam pemaparan argumentasinya justru buru-buru melompat ke paparan yang serba normatif, dan oleh karena itu dangkal dan tampak mengalami kemiskinan analisis.


Dalam tulisan ini, saya akan memaparkan argumentasi paradigmatik yang bisa dipahami sebagai premis-premis dasar yang membangun seluruh posisi dan pendirian intelektual dan politis saya yang tentu saja akan berbeda dengan argumentasi-argumentasi praktis yang pernah saya ajukan dalam tulisan saya terdahulu. Tulisan ini juga sekaligus ingin mempertegas posisi saya terdahulu sekaligus sedikit mempertajam gagasan yang dilontarkan oleh saudara Antariksa dan Phutut EA di atas.


Paradigma Negara vs Kebudayaan

Dalam khazanah pemikiran politik dipahami bahwa negara adalah sebuah institusi politik yang keberadaannya dibentuk oleh suatu konsensus bersama masyarakat yang plural dan heterogen berdasarkan kepentingan warganya. Dan bukan sebaliknya negara yang membentuk dan menciptakan masyarakat. Konsekuensi dari pandangan pertama akan melahirkan suatu bentuk masyarakat yang demokratis di mana hak-hak kelompok masyarakat yang menjadi komunitas dalam negara tersebut dihargai dan dijamin eksistensinya; sementara pada pandangan yang kedua lazim berlaku dalam negara totalitarian di mana etatisme negara telah sampai ke arah penyeragaman dan pendisplinan terhadap kehidupan warganegara.


Embrio totalitarianisme selalu muncul dari kehendak negara untuk secara politis dan ideologis menguasai dan mengendalikan seluruh kehidupan masyarakat demi kepentingan penguasa, entah atas nama stabilitas keamanan, nasionalisme, patriotisme, harga diri bangsa, dan seterusnya. Pretensi seperti inilah yang pernah dimiliki oleh pemerintahan Nazi di Jerman dengan “menegarakan” semua urusan masyarakat, atau dengan kata lain “mentotalisasikan” gerak dan nadi kehidupan masyarakat ke dalam jaringan urat syaraf pusat kekuasaan negara tanpa menyisakan ruang sejengkalpun bagi kreatifitas dan kebebasan mereka. Semuanya berada dalam situasi under-control oleh negara.


Berbeda dengan model kekuasaan seperti itu, sebuah negara yang demokratis dan beradab akan menjamin keseimbangan antara entitas negara dan masyarakat. Dan untuk mencapai cita-cita tersebut negara seyogyanya mengurusi seminimal mungkin persoalan-persoalan kemasyarakatan dan membiarkan masyarakat sendiri mengembangkan kehidupan sosialnya secara manusiawi.


Dalam kehidupan sosial masyarakat inilah sesungguhnya hakikat kebudayaan bisa ditemukan. Ia adalah hasil interaksi sosial antara pribadi, individu-individu, dan kelompok-kelompok masyarakat dalam rangka merajut tatanan sosial bersama, membangun kehidupan yang emansipatoris dan mengusahakan agar tetap hidup survive. Dengan demikian, kebudayaan sebenarnya adalah kehidupan itu sendiri, tempat di mana semua persoalan dibicarakan dan didekati secara kultural. Kebudayaan lahir, berkembang dan semakin kaya dalam proses interaksi sosial manusiawi, tepat ketika kita meyakini bahwa kearifan masyarakat adalah titik fundamental menuju bangunan masyarakat yang manusiawi dan bermartabat.


Kebudayaan tidak berdiri di atas kekuasaan. Pendekatan politik terhadap kebudayaan justru akan melahirkan keputusan-keputusan dan kebijakan yang akultural (lugasnya bisa dibaca: tidak beradab) karena ia ditentukan oleh mekanisme kekuasaan yang justru menganggap kebudayaan sebagai konsep-konsep tunggal dan statis yang disusun di atas lembaran kertas dan menjadi agenda yang dijalankan berdasarkan sebuah program kerja beserta hitung-hitungan budgeting anggaran.


Negara dan Birokratisasi Kebudayaan

Salah satu konsekuensi kritis dari keterlibatan negara dalam rekayasa budaya akan menghasilkan apa yang kita sebut sebagai proses birokratisasi kebudayaan. Inilah yang tidak disadari oleh mereka yang biasa bekerja dalam sistem birokrasi karena mereka sendiri adalah bagian atau skrup dari sistem itu. Birokratisasi adalah model pengaturan, penataan, dan pengorganisasian secara rasional dan modern terhadap elemen politik maupun kultural masyarakat dengan tujuan meraih efisiensi dan produktifitas. Sistem birokrasi secara umum diterapkan dalam pengelolaan segala urusan kenegaraan agar bisa diselesaikan secara efisien sesuai dengan tujuan-tujuan pemerintahan.


Karena itu pada hakikatnya birokrasi sesungguhnya tidak pernah netral, serta bebas nilai dan kepentingan. Justru sebaliknya proses birokratisasi penuh dengan nuansa rasionalitas instrumental guna mencapai tujuan tertentu secara tepat, terencana, dan efisien. Karena itu tidak salah bila Weber menyebut kehidupan birokrasi ini sebagai “iron cage”, sebuah penjara besi, yang memasung kehidupan manusia. Dalam birokrasi, pesona kehidupan menjadi hilang, musnah.


Bagaimana bila kebudayaan mengalami proses birokratisasi? Pada dirinya sendiri birokratisasi kebudayaan adalah contradictio in terminis. Birokratisasi adalah proses rekayasa untuk mencapai tujuan produktifitas dan efisiensi yang cenderung berorientasi politik instrumental, sementara kebudayaan berproses secara sosial dan kultural dalam kehidupan sehari-hari masyarakat yang senantiasa cair dan mengalir.


Pendeknya kebudayaan selalu dalam proses “becoming” (menjadi), sedangkan birokratisasi cenderung meletakkan dan memaksakan entitas-entitas yang cair dan mengalir itu sebagai “being” (Ada) agar bisa dikerangkakan dalam sebuah kebijakan dan aturan yang mengikat. Atau dalam bahasa filsuf Jerman Martin Heidegger, birokratisasi kebudayaan adalah semacam “the way of revealing something as a standing reserve”, atau suatu bentuk “enframing” yang hendak mengkerangkakan kebudayaan sebagai sarana mengejar tujuan-tujuan dan kepentingan intrumentalis dan ideologis semata.


Di sini tentu saja pengerangkaan yang saya maksud adalah demi kepentingan dan rekayasa politik kekuasaan. Entah rekayasa ini masuk dan menjadi bagian dari hegemoni negara terhadap kehidupan warganegara, atau pola baru penyeragaman dan penaklukan terhadap resistensi kultural masyarakat sekaligus penyusupan kebijakan militerisme dalam ranah kultural, atau bahkan kecenderungan ekonomisasi kebudayaan. Bagian-bagian ini saling kait mengait dan berjalin kelindan dengan bagaimana kekuasaan negara membangun strategi dominasinya dalam kehidupan masyarakat secara “total”.


Ekonomisasi Kebudayaan

Kecenderungan ekonomisasi kebudayaan sebenarnya lahir dari apa yang disebut John B. Cobb, Jr. (seorang tokoh penerus Filsafat Proses) sebagai ekonomisasi politik. Artinya bahwa segala penyusunan kebijakan seringkali dibentuk oleh kepentingan-kepentingan ekonomi. Keuntungan ekonomilah yang men-drive dan mengendalikan kebijakan publik, kendati kebijakan tersebut harus mengorbankan orang lain. Meski memang biasanya faktor-faktor budaya, tradisi atau kepentingan religius memiliki peran dalam isu-isu publik, gejala mutakhir akhir-akhir ini menunjukkan bahwa kepentingan ekonomi memainkan peran determinan.


Dalam konteks inilah saya ingin kembali menegaskan bahwa asumsi para birokrat, dan para teknokrat yang bekerja untuk melayani birokrasi, yang menyatakan bahwa dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan meningkatkan prikehidupan kebudayaan adalah sesuatu yang naif dan omong kosong. Justru sebaliknya, apa yang terjadi sejak orde baru adalah ekonomisasi politik yang melahirkan kehancuran pada ranah kebudayaan. Pokok persoalannya justru terletak pada prinsip-prinsip ekonomi modern dan kekuasaan negara itu sendiri yang cenderung bersifat akultural (Herry Priyono menyebut kekuasaan ini sebagai sang “Leviathan”). Dalam arti ada proses pemaksaan dan penyeragaman yang dibangun atas nama pembangunanisme, modernisme, pertumbuhan ekonomi, stabilitas keamanan dan politik, stabilitas ekonomi (efisiensi dan produktifitas), dan seterusnya. Dalam hal ini cita-cita pembangunan jati diri bangsa dan kebudayaan nasional yang ditiupkan oleh kalangan birokrat dan penguasa tidak jauh dari hasrat dan kepentingan kekuasaan ini.


Dengan lugas bisa dikatakan, birokratisasi dan ekonomisasi kebudayaan sesungguhnya adalah representasi langsung perselingkuhan antara kepentingan modal dan kekuasaan. Sedang pecundangnya adalah komunitas subaltern (baca: komunitas marginal) dan masyarakat bawah sebagai pemilik kebudayaan itu sendiri. Inilah sisi gelap ideologi “kebudayaan madzhab negara” yang disokong para teknokrat kebudayaan kita.


*Dimuat di Situs: http://www.kunci.or.id/misc/huda_negara2.htm

0 Comments:

Post a Comment

<< Home