Forum Kajian 164, wadah anak muda NU yang mengaji berbagai pikiran dan praktik keagamaan, sosial-politik dan budaya secara kritis. Angkatan baru ini sadar, akar tradisi adalah modal dasar guna menghadapi perubahan. Modernitas berikut praktik2 diskursifnya tidak diterima taken for granted, tapi diapresiasi secara kritis dan selektif dengan menimbang kepentingan sosial. Forum ini hadir guna merefleksikan dan meracik berbagai hazanah tradisional dan produk kekinian itu demi kemaslahatan umat

Thursday, July 27, 2006

Habitus Baru


Oleh: B. Herry Priyono


Apa kira-kira nama bagi tahun 2005? Rasanya ia seperti sungai-waktu yang baru saja kita selami, tetapi arus dasarnya belum juga kita kenali. Hari ini kita sejenak diam, merasakan arusnya yang sedang surut menjadi silam.

Dengan pesta-bunyi kita akan menyambut pagi meskipun tetap saja ada rasa menyesakkan berada di ruang-waktu negeri ini. Inilah negeri yang berulang kali ingin menyembuhkan diri, tetapi setiap kali kita dapati lagi sedang menghancurkan diri.

Para mandarin kebijakan publik telah mencoba banyak cara. Ada cara hukum, cara ekonomi, dan tentu cara politik. Namun, seperti raksasa yang pingsan, negeri ini belum juga siuman. Mungkinkah cara-cara yang ditempuh selama ini kelewat dangkal untuk menembus cacat yang jauh lebih mendalam?

Banyak produk hukum baru telah dihasilkan, tetapi belum juga tumbuh keteraturan. Demikian pula banyak program ekonomi telah dilakukan, tetapi malah menggiring semakin banyak orang ke gurun kemiskinan. Dan perubahan politik perwakilan telah dicoba, tetapi hasilnya cuma kebiasaan anggota DPR melancong sambil belanja.

Setiap kebijakan punya batas lantaran ia berjalan di atas endapan kebiasaan hidup sehari- hari kita yang membentuk Indonesia seperti yang kita hidupi sekarang. Dan gugus kebiasaan itu rupanya jauh lebih keras-kepala dibandingkan dengan berbagai perangkat kebijakan yang timbul tenggelam. Istilah bagi gugus kebiasaan itu adalah habitus.

Lapis kebiasaan

Habitus adalah kata biasa dalam bahasa Latin. Ia bisa berarti kebiasaan, bisa pula tata pembawaan atau penampilan diri. Semua mau menunjuk kecenderungan atau pembawaan diri yang telah menjadi insting perilaku yang mendarah daging, semacam pembadanan dari kebiasaan kita dalam rasa-merasa, memandang, mendekati, bertindak, atau berinteraksi dalam kondisi suatu masyarakat. Ia dipakai secara netral, baik untuk gugus kebiasaan yang dianggap terpuji maupun tercela. Ia dipakai untuk menunjuk kebiasaan banyak anggota DPR melancong dengan dalih studi banding maupun untuk kebiasaan spontan membuang sampah pada tempatnya.

Sebagai gugus kebiasaan rasa-merasa, memandang, serta bertindak, habitus bersifat spontan dan tidak disadari pelakunya, tidak pula disadari apakah kebiasaan itu terpuji atau tercela. Orang tidak sadar akan habitus-nya, sebagaimana orang tidak sadar akan bau mulutnya.

Melalui laku refleksi, istilah tua itu diangkat dan dikembangkan almarhum Pierre Bourdieu, pemikir Perancis, sebagai teropong analisis. Ia berguna, salah satunya, untuk menyingkapkan lapis tersembunyi dari penyebab banyak kemacetan suatu masyarakat seperti yang terjadi di Indonesia. Dengan berguru sejenak kepadanya, dan dengan risiko penyederhanaan berlebihan, banyak kemacetan di negeri ini mungkin terjadi lantaran dua kecenderungan berikut ini. Di satu pihak, anggapan bahwa kita adalah kerumunan yang bisa dibentuk menjadi apa saja sesuai dengan arah program kebijakan. Apa yang diperlukan adalah konsistensi penerapan kebijakan, dan perilaku tiap orang Indonesia akan berubah sebagai produk jelmaan dari corak kebijakan. Di lain pihak, anggapan bahwa dengan bebas kita bisa membentuk kehidupan bersama menurut kemauan pribadi kita masing-masing. Karena itu, berbagai kemacetan yang kita hadapi hanya mungkin diatasi dengan perubahan pada lingkup pribadi.

Kedua kecenderungan itu tidak sepenuhnya keliru, tetapi juga ada sesuatu yang kurang, meskipun sulit ditunjukkan. Mengapa banyak program yang sangat terpuji sekalipun mudah berguguran? Selain itu juga, mengapa kehendak pribadi yang paling mulia sekalipun mudah patah dihadang corak perilaku kerumunan?

Untuk melampaui tegangan seperti itu, ada sasaran bidik lebih sentral yang mesti dijadikan fokus. Fokus itu adalah endapan berbagai kebiasaan kita dalam rasa-merasa, memandang, dan bertindak yang disebut habitus. Habitus bukan lagi sebatas kebiasaan seseorang, melainkan seluruh gugus kebiasaan sosial yang tampak dalam corak praktik sehari-hari hidup bersama kita, dari praktik korupsi sampai perusakan hutan, dari kebiasaan plagiat sampai kebiasaan mengemplang utang yang dilakukan banyak bank kelompok bisnis di Indonesia dengan ujung pada kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

Ambillah contoh yang setiap hari ada di depan mata, yaitu lalu lintas. Salah satu gejala dari habitus berlalu lintas tampak pada momen di perempatan. Lampu lalu lintas sudah berubah merah, tetapi banyak mobil/motor tetap melaju. Andaikan Anda warga negara Malaysia yang baru saja tiba dari Kuala Lumpur dan mengendarai mobil di Jakarta, melihat lampu lalu lintas berwarna merah Anda berhenti, tetapi mobil/motor di belakang membunyikan klakson keras-keras, memaksa Anda melaju. Terkejut dengan cara itu, Anda geleng-geleng kepala, lalu terpaksa melaju.

Daya paksa kebiasaan berlalu lintas di Jakarta terhadap Anda yang ”taat hukum” itu sedemikian rupa sampai Anda merasa tak mungkin berada di jalan tanpa mengikuti habitus preman dalam berlalu lintas. Maka, ke dalam gugus habitus berlalu lintas di Jakarta ditambahkan seorang pelaku baru, yaitu Anda. Dengan itu, jarak antara aturan lalu lintas dan praktik berlalu lintas juga semakin jauh.

Lapis perubahan

Contoh kecil itu bisa direntang untuk soal-soal lain. Semua menunjuk ciri berbondong-bondong seperti kawanan-hewan (herd) yang menandai kinerja habitus. Pokok ini juga bisa melunakkan keyakinan kita yang terlalu mulia tentang sifat sadar perilaku kita. Dalam habitus kita tidak sesadar seperti cita-cita para filsuf meskipun juga tidak semekanis seperti mesin. Mungkin benar apa yang ditulis penyair Romawi Ovidius sekitar 2.000 tahun lalu: Tak ada yang lebih kuat daripada kebiasaan.

Jadi, selama ini rupanya berbagai program kebijakan di bidang ekonomi, politik, atau hukum berdiri tipis di atas endapan luas kebiasaan kita yang jauh lebih mendalam daripada lapis yang dibidik berbagai kebijakan itu. Program ekonomi, misalnya, bisa saja membentuk bingkai ekonomi pasar. Namun, dengan corak habitus kita sekarang, lebih mungkin yang berkembang biak adalah para maling, dan bukan pelaku pasar.

Akan tetapi, bukankah gugus-gugus kebiasaan itu bisa diubah oleh kebijakan? Mungkin! Namun, dari kegagalan berbagai kebijakan cukup jelas bahwa habitus yang beroperasi pada lapis kedalaman jauh lebih keras kepala daripada yang kita bayangkan. Yang lebih mungkin bukan program kebijakan yang mengubah habitus, melainkan kinerja habitus yang meremuk kebijakan. Itulah mengapa bahkan banyak kebijakan yang terpuji dengan cepat mengalami pembusukan lalu berguguran.

Jadi, soalnya bukan sebatas ketepatan kebijakan, melainkan transformasi gugus habitus pada skala sebesar bangsa. Cuma, sama seperti watak habitus, kita adalah orang-orang yang telanjur keras kepala, tidak akan percaya tanpa bukti di depan mata. Maka, hanya dari bidang-bidang yang kasatmata itu pula proyek pembentukan habitus baru dapat dimulai. Perubahan gugus kebiasaan pada dataran yang paling kasatmata ini niscaya akan memberi kita pengalaman rasa-merasa baru soal negeri yang sudah lama lebih mengenal keputusasaan ketimbang harapan.

Gugus kebiasaan yang paling kasatmata menunjuk gejala sekonkret seperti kebiasaan berlalu lintas, kebiasaan membuang sampah, dan semacamnya. Bila pada dataran yang paling kasatmata ini pun tidak terjadi perubahan habitus, mungkin terlalu tinggi bermimpi tentang perubahan dalam soal yang secara publik lebih tersembunyi, seperti jual-beli gelar dan korupsi. Dan yang penting lagi, gerakan perubahan habitus ini tidak mungkin dibebankan hanya kepada presiden meskipun mungkin dipimpin olehnya. Agenda perubahan habitus inilah, dan bukan siasat menaikkan harga bahan bakar minyak, yang jauh lebih pantas dipasang sebagai iklan sebesar halaman koran.

Corak habitus kita sebagai sebab tersembunyi banyak kemacetan bangsa ini mungkin terdengar seperti dongeng peri ketika diajukan pertama kali. Setiap kebenaran selalu lebih dahulu terasakan daripada terkatakan. Saat pertama diajukan, biasanya ia juga terungkap dalam rumusan yang serba cacat. Dan untuk waktu yang lama kita akan tergagap-gagap memahami, sampai kesesakan bersama memaksa kita akhirnya mengakui.

Dalam kesesakan itu, sesekali saya membayangkan seorang bijak yang datang ke tengah kita. Tatkala mendengar keluh kesah kita, ia hanya bersabda: Kejarlah dulu habitus baru, selebihnya akan ditambahkan kepadamu.

Selamat Tahun Baru.

oleh: B Herry-Priyono Pengajar Program Pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta; Sementara Tinggal di California

Sumber: Kompas, 01 Januari 2006

0 Comments:

Post a Comment

<< Home