Forum Kajian 164, wadah anak muda NU yang mengaji berbagai pikiran dan praktik keagamaan, sosial-politik dan budaya secara kritis. Angkatan baru ini sadar, akar tradisi adalah modal dasar guna menghadapi perubahan. Modernitas berikut praktik2 diskursifnya tidak diterima taken for granted, tapi diapresiasi secara kritis dan selektif dengan menimbang kepentingan sosial. Forum ini hadir guna merefleksikan dan meracik berbagai hazanah tradisional dan produk kekinian itu demi kemaslahatan umat

Thursday, July 27, 2006

Keadaban Publik: Gerakan Menciptakan Habitus Baru


Oleh B. Herry-Priyono


Keadaban Publik: Bukan sekedar sikap santun dalam kehidupan publik, melainkan gugus kebiasaan (social habits) cara berpikir, cara merasa, dan cara bertindak (habitus) yang berisi:

  • sikap konsideran terhadap orang lain.
  • kapasitas melaksanakan ciri konsekuensial hidup bermasyarakat: bahwa tindakan kita mempunyai dampak (baik/buruk) pada kondisi hidup orang lain.
  • gerakan untuk membuat kehidupan bersama menjadi tata 'komunitas' (community), dan bukan sekedar 'kerumunan' (crowd).

Konteks Urgensi

'De-regulasi' sbg salah satu kemungkinan entry point: 'De-regulasi' mungkin muncul dari dadakan pragmatis ekonomi, tetapi dasarnya bukan konsepsi ekonomi. De-regulasi adalah premis baru pengelolaan tata-negara, for better or worse:

  • Bahwa jatuh-bangun dan hidup-matinya suatu negeri tidak boleh lagi hanya tergantung pada kinerja aparat dan instansi pemerintah (logika negatif).
  • Tetapi itu berarti, jatuh-bangun dan hidup-matinya suatu negeri juga tak bisa lagi hanya menjadi beban tanggungan pemerintah; jadi juga merupakan beban tanggungan para pelaku dan badan-badan di sektor-sektor non-pemerintah (logika positif).
  • Implikasi: sektor-sektor non-pemerintah (bisnis, perguruan tinggi, agama, etc) juga pembentuk serta penentu hidup-matinya suatu negeri.

Transformasi yang Terlibat

  • De-regulasi bukan tidak-adanya regulasi, melainkan perluasan dan pemindahan locus otoritas regulasi: dari state-regulation ke self-regulation. Maka de-regulasi sebenarnya berisi 're-regulasi', dengan individual self sebagai aktor-regulator alternatif.
  • Apa dasar individual self menuntut bertindak sebagai sumber dan pelaku "otoritas" regulasi? Jawab: individual self-determination yang terungkap dalam sovereignty & freedom of individual choices.
  • Bila sumberdaya pemerintah melakukan regulasi adalah "mandat", apa sumberdaya self-regulation? Jawab: pemilikan dan/atau kontrol atas berbagai sumberdaya (finansial, fisik, teknologis, pengetahuan, material, dsb) yang di-konversi-kan menjadi capital. Itulah mengapa terjadi penerapan istilah capital pada bidang "non-ekonomis" (e.g., cultural capital, symbolic capital, etc).

Beberapa Implikasi

  • Selain 'pemerintah', the sovereignty & freedom of individual choices/tastes menjadi locus kekuatan regulatif baru yang amat menentukan corak social habits -> public habits -> public (in)civility. Atau, dalam arti tertentu bahkan bisa dikatakan 'pemerintah' sering hanya menjadi sekedar penjaga legalitas.
  • Prototype-nya adalah kinerja 'kebebasan pilihan individual' dalam transaksi ekonomi pasar-bebas (individual preference as the role regulator). Cf. "I am free to do whatever my tastes dictate me and whatever my purchasing power could afford".
  • Soalnya, belum ada mekanisme institusional apapun yang menjamin bahwa corak kebebasan selera individual' itu selalu menghasilkan tata 'hidup bersama' yang civilised (kecuali tentu argumen un-intensionalitas invisible hand - cf. Adam Smith).
  • Simpul: kekuatan pembentuk corak kehidupan publik bukan lagi hanya daya-regulatif 'pemerintah', tetapi juga daya-regulatif 'kebebasan selera/pilihan individual'.

Good Social Habits -> Keadaban Publik

  • Daya-regulatif 'kebebasan pilihan/selera individual' itu tercermin dalam corak social habits. Seluruh gugus social habits ini membentuk apa yang sering ditunjuk dengan istilah 'public culture'.
  • Soalnya: good social habits -> public civility; bad social habits -> public incivility. Biasanya penyebarannya terjadi melalui kinerja herd principle of actions.
  • Contoh: silahkan memberi nama social habits apa yang berlangsung luas dalam perilaku lalu-lintas, antrian, tribalisme agama, illegal logging, KKN, acara-acara televisi, malpraktik bisnis, plagiarisme, etc.
  • Dari contoh-contoh itu tampak bahwa locus, sumber, dan pelaku public civility/incivility itu beragam, dan bukan monopoli aparat/instansi pemerintah.
  • Implikasi: Civil Society bukanlah vis-à-vis pemerintah, melainkan vis-à-vis kekuatan apa saja yang kinerjanya menimbulkan public invicility (entah kekuatan agama, media, bisnis, militer, ataupun pemerintah, etc).

Ringkasnya,

Inti agenda gerakan 'keadaban publik' adalah re-edukasi social habits ke arah penciptaan new civilised social habits dalam tiga poros/ranah kehidupan publik, yaitu poros/ranah 'pasar', 'badan publik', dan 'komunitas'.

Menuju Eksperimen Perubahan (Beberapa Syarat)

  • Bidang eksperimen harus menyangkut social habits yang punya visibilitas publik luas, tetapi dekat dengan hidup sehari-hari seluruh warga kampus.
  • Bidang eksperimen harus kasat-mata, di depan mata, dalam pengaruh seluruh warga kampus, dan bisa punya dampak kolosal bila dilakukan serentak oleh jaringan komunitas-komunitas kampus se-Indonesia.
  • Bidang eksperimen berupa gejala publik, yang penyebab dan solusinya merupakan titik temu kinerja 3 poros kekuatan yang membentuk corak public (in)civility, yaitu market, public agency, community.
  • Perubahan gradual lebih disandarkan pada kinerja habituation of civilised public practices; wacana akademis diadakan untuk mendukung.

Contoh Eksperimen: Lalu-lintas (gejala 'ketidakadaban publik')

  • Luasnya kebiasaan tidak berhenti (tetap melaju) ketika lampu lalu-lintas berwarna merah.
  • Luasnya pemakaian lampu warna putih-terang (bukan merah) pada bagian belakang motor/mobil yang amat mengganggu pengendara di belakangnya.
  • Luasnya pemakaian knalpot dengan volume suara yang membuat pekak, hingga menimbulkan noise stress.
  • Luasnya kebiasaan mendahului dari sebelah kiri, kebiasaan potong jalan seenaknya, melaju dari arah sebaliknya pada jalan satu-arah.
  • Luasnya kebiasaan transportasi publik berhenti bukan pada halte perhentian yang tersedia, tapi di ruas-ruas jalan hingga menimbulkan kemacetan total.
  • Dan masih banyak lagi: soal parkir, pemakaian lampu, kecepatan, balapan dengan taruhan di jalan-jalan protokol, etc.

Bukan gejala aneh bila sedang muncul suatu generasi yang tidak lagi mengerti dan punya kebiasaan bahwa lampu merah lalu-lintas berarti berhenti, atau bahwa lampu belakang motor/mobil harus berwarna merah, dan bukan putih-terang.

Kesalingterkaitan Tiga Poros

  • Pada poros public agency: menyangkut soal yang luas diketahui, seperti lemahnya penegakan hukum lalu-lintas, kebiasaan korup polisi lalu-lintas, etc.
  • Pada poros market: menyangkut soal seperti ledakan penjualan kendaraan bermotor, bisnis knalpot serta asesori kendaraan bermotor, etc.
  • Pada poros community: menyangkut soal perluasaan uncivilised individual actions menjadi uncivilised public habits melalui herd actions, emulasi dan kompetisi selera serta gaya-hidup, etc.

Selama ini, faktor yang selalu ditunjuk sebagai locus problematicus adalah faktor-faktor dalam poros 'badan publik'. Itu hanya sepertiga dari problem, dan hanya sepertiga dari solution. Gerakan 'keadaban publik' menyangkut ketiga poros.

Menuju Agenda Programatik

  • Perencanaan: desain dibuat dengan basis kota, dan melibatkan komunitas-komunitas kampus yang ada di kota bersangkutan.
  • Isi strategi: kampanye besar-besaran yang meliputi contoh-contoh aksi di jalan, selebaran, media, leaflets berisi new civilised habits dalam berlalu-lintas, kerjasama dengan poltas, wacana publik, dsb.
  • Alat ukur: dalam bentuk indeks yang berisi indikator penunjuk turun-tidaknya uncivilised habits dalam berlalu-lintas (e.g., soal parkir, traffic lights, pemakaian lampu, noise stress, etc).

Akhirnya,

  • Jika selama ini rute pemahaman kognitif-intelektual yang luhur tidak juga mampu menggerakkan perubahan, mungkin kita perlu masuk melalui premis yang lebih "primitif", yaitu diktum "nothing is stronger than habit".
  • Jika "prinsip kawanan-hewan" (herd principle) telah me-reproduksi public incivility, mungkin melalui "prinsip kawanan-hewan" itu pula public civility akan mulai terbentuk dan ter-reproduksi.
  • Dengan gerakan penciptaan new civilised habits, mungkin kita akan membentuk habitus baru bagi kehidupan publik di Indonesia.

Catatan Tambahan

a) Habitus "Acquired generative schemes.that make possible the endless reproduction of thoughts, perceptions and actions; .a product of history, produces individual and collective practices. in accordance with the schemes generated by history. It ensures the active presence of past experiences, which, deposited in each organism in the form of schemes of perception, thought, and action, tend to guarantee the "correctness" of practices and their constancy over time, more reliably than all formal rules and explicit norms". (Pierre Bourdieu, The Logic of Practice, 1990, pp 54, 55)

b) Tiga Poros sebagai Kekuatan

  • Badan publik (public agency) menunjuk pada badan pengatur bagi kemungkinan tata hidup bersama suatu negara-bangsa. Instansi yang mempunyai wewenang melarang perusahaan kayu menebangi pohon di hutan lindung demi "kesehatan" lingkungan, misalnya, adalah wajah poros badan publik.
  • Pasar (market) menunjuk pada spontanitas transaksi ekonomi tanpa komando dan paksaan dalam pengadaan barang/jasa. Spontanitas transaksi yang terjadi antara penjual dan pembeli di pasar, toko, atau arena jual-beli lain merupakan contoh kekuatan pasar.
  • Komunitas (community) menunjuk pada spontanitas relasi sosial antar anggota warga, bersifat non-administratif dan non-transaksi ekonomis. Spontanitas warga menanam pohon bagi penghijauan lingkungannya - dan itu bukan karena transaksi jual-beli atau keharusan administratif – merupakan contoh wajah komunitas.

c) Tiga Poros sebagai Ranah

  • Tiga poros itu bukan hanya tiga sosok kekuatan yang kinerjanya menentukan kondisi masyarakat, tetapi juga merupakan tiga arena utama kegiatan dan hubungan kita sebagai warga negara. Masing-masing kita terlibat dalam ketiganya. Misalnya, ketika kita pergi ke pasar untuk membeli beras, kita berhadapan dengan dan berada di arena poros 'pasar'. Ketika membuat sertifikat tanah, kita berhadapan dengan dan ada di arena 'badan publik'. Ketika ikut pertemuan lingkungan untuk memperbaiki jalan di desa secara swadaya, kita berhadapan dengan dan ada di arena 'komunitas'.
  • Meskipun masing-masing kita terlibat dalam kinerja ketiga poros/arena itu, dalam praktiknya tiap-tiap poros/arena ditandai para pelaku yang lebih menentukan dibanding warga lainnya. Seorang bupati adalah pelaku utama poros 'badan publik', investor adalah pelaku utama poros 'pasar', sedangkan seorang penggiat rukun tani adalah contoh pelaku utama poros 'komunitas'.

d) Kekhasan masing-masing Poros

  • Kinerja tiga poros tersebut secara bersama-sama menyangga kelangsungan hidup suatu masyarakat. Masalahnya, kinerja tiga poros tersebut digerakkan oleh logika yang saling berbeda, atau bahkan sering kali saling bertentangan.
  • Poros 'badan publik', misalnya, digerakkan terutama oleh motif pengaturan tata hidup bersama, poros 'pasar' digerakkan terutama oleh motif untung-rugi dan efisiensi ekonomi, sedangkan poros 'komunitas' digerakkan oleh motif kerekatan sosial warga.
  • Itu berarti, masing-masing poros mempunyai "aturan main" yang khas. Pemaksaan "aturan main" salah satu poros terhadap poros lainnya biasanya menjadi bibit kerusakan hidup bersama (public incivility).


*Catatan ini aslinya berbentuk artikel berformat presentasi power point yang disajikan pada acara Forum Rektor Indonesia, Surabaya, 18 Mei 2005.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home