Forum Kajian 164, wadah anak muda NU yang mengaji berbagai pikiran dan praktik keagamaan, sosial-politik dan budaya secara kritis. Angkatan baru ini sadar, akar tradisi adalah modal dasar guna menghadapi perubahan. Modernitas berikut praktik2 diskursifnya tidak diterima taken for granted, tapi diapresiasi secara kritis dan selektif dengan menimbang kepentingan sosial. Forum ini hadir guna merefleksikan dan meracik berbagai hazanah tradisional dan produk kekinian itu demi kemaslahatan umat

Monday, August 21, 2006

Diskusi Buku: Cendekiawan dan Kekuasaan Dalam Negara Orba



JADWAL KAJIAN 164

DISKUSI BUKU:

“CENDEKIAWAN DAN KEKUASAAN DALAM NEGARA ORDE BARU”

PRESENTER:

1. FADLI HS

2. AMSAR A. DULMANAN


WAKTU: JUMAT, 24 AGUSTUS 2006, PUKUL 15.30 WIB

TEMPAT: GEDUNG PBNU LT. 5.


Judul Buku : Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru
Penulis : Daniel Dhakidae
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama, 2003
Tebal : xxxviii + 790 halaman


Position Paper:

Siapakah kaum cendekiawan itu? Bagaimanakah peran kaum intelektual ini dalam negara Orde Baru, dan geliat mereka dalam cengkeraman rezim neo-fasisme Orba? Pertanyaan-pertanyaan ini secara subtil akan menjadi bahasan utama buku “Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru” yang akan kita diskusikan minggu ini. Buku ini ditulis oleh Daniel Dakhidae, seorang doktor lulusan Cornell University, sebuah perguruan tinggi ternama di Amerika. Dari universitas ini pula kita mengenal banyak Indonesianis, diantaranya Benedict Anderson, yang banyak memberikan kontribusi terhadap kajian tentang Indonesia.

Daniel Dakhidae tidak menyuguhkan kajian mengenai cendekiawan Indonesia secara konvensional, misalnya dengan mengetengahkan biografi para tokohnya atau segugusan pikiran-pikiran mereka. Justru yang menjadi keunikan dari buku ini adalah pendekatan yang digunakan Daniel dalam melihat sepak terjang intelektual dan cendekiawan kita dengan menggunakan metode analisa wacana, suatu discource analysis. Dengan pendekatan ini, maka terkuak bahwa politik Indonesia adalah hasil dari wacana yang dikonstruksikan oleh modal, kekuasaan, dan kebudayaan, dimana cendekiawan dan intelektual ikut terlibat di dalamnya. Dengan pendekatan ala Foucaultian ini maka bisa diketahui “kenapa pikiran itu dipakai, pada saat mana dan apa konsekuensi sosial, politik, ekonomi dan kebudayaannya. Siapa yang dibuang keluar dan siapa yang ditarik ke dalam karena pemakaian wacana tersebut” (hal. 26). Inilah tujuan penelitian penulisnya.

Pada titik ini pula sesungguhnya pandangan Julien Benda mengenai kaum intelektual dalam karyanya Pengkhianatan Kaum Intelektual terasa sudah usang. Karena, bagi Benda dan kaum Bendais seolah-olah ruang kaum cendekiawan dan intelektual hanya berada di awang-awang, di dalam dunia idea, yang tidak boleh bersimbah peluh dengan realitas perkembangan ekonomi dan politik. Kenyataannya intelektual dan cendekiawan Indonesia menunjukkan hal yang sebaliknya.

Kaum cendekiawan ini justeru ter(di)libat(kan) penuh dalam memproduksi wacana. Yang kesemuanya ini ditentukan oleh suatu relasi yang rumit dengan modal, kekuasaan dan kebudayaan. Mengapa kaum cendekiawan? Karena cendekiawan dan intelektual itu sendiri adalah modal, symbolic capital. Modal yang menggunakan instrumen bahasa sebagai medium untuk mengolah kehidupan sosial, politik, ekonomi dan kebudayaan pada umumnya. Cendekiawan masuk dalam ruang pertarungan melalui penguasaan bahasa dan kontrol terhadap pengetahuan, yang pada akhirnya juga ke jalan kekuasaan.

Buku ini memperlihatkan bagaimana respon cendekiawan terhadap proses totalisasi kekuasaan, negara dan modal, yang dilakukan rezim neo-fasis Orba dalam rangka upanyanya untuk membangun formasi wacana dominan. Di antara mereka adalah “intelektual tukang” yang menghamba secara total kepada kekuasaan; ada intelektual subversif di dalam sistem yang berpikiran positif dan bergabung dalam rezim; dan ketiga perlawanan total dari luar sistem oleh “tukang intelektual” yang yakin mereka harus berperan maksimal untuk membela nilai-nilai keadilan dan kebenaran tanpa pamrih.

Dalam uraian buku ini disebutkan mereka yang selama ini membudak kepada kekuasaan adalah: dunia penelitian, organisasi kecendekiaan, seperti ISEI, Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia, dan HIPIIS, Universitas, Pers, MUI, ICMI, CSIS, dan jurnal Prisma (yang diterbitkan LP3ES).

Sementara itu ada juga beberapa kelompok perlawanan, meski perlahan-lahan terkulai lemas akibat tekanan dan pemadakan perlawanan tersebut. Mereka diantaranya adalah kelompok diskusi di luar kampus, aktivis NGO dan NGI, non-governmental intellectuals, pemikir-pemikir muda dari Nahdlatul Ulama (NU), Wiji Thukul, Sandyawan, Budiman Sudjatmiko, Marsinah, dan Udin. Pada umumnya mereka yang disebut belakangan ini dihadapi sebagai "Cendekiawan Kiri".

Kajian yang disajikan buku ini sangat menarik, karena persis Dakhidae hendak meletakkan posisi dan peran kaum cendekiawan dalam relasinya dengan dialektika segitiga: modal, kekuasaan dan kebudayaan. Dimana kekuasaan rezim Orde Baru juga bergerak dalam ruang segitiga yang sama.

Paparan tentang proses hegemoni dan resistensi dijelaskan secara detil di sini. Karena di dalam setiap hegemoni selalu ada resistensi (khas Foucaultian), Dakhidae melihat bahwa relasi dialektik modal, kekuasaan dan kebudayaan juga memungkinkan para cendekiawan memanfaat kekuasaan dan modal kultural yang dimilikinya untuk mentransformasikan kekuasaan dan modal menjadi penopang budaya kritis dalam sebuah arena “perang tanding wacana”.

Buku ini sangat menarik karena memperlihatkan pergulatan dan pertarungan riil cendekiawan dan intelektual dalam relasinya dengan modal, kekuasaan dan kebudayaan, serta konsekuensi selanjutnya dari wacana yang dibangun dalam memproduksi modal, kekuasaan dan kebudayaan. []


*Lihat link menarik di sini
*Lihat juga ulasan terhadap buku tersebut oleh Thamrin Amal Tamagola di sini


2 Comments:

Anonymous Anonymous said...

Saya usul, gimana kalo presenter bikin makalah pengantar, sekaligus kritik. Oya... sekali-kali 164 juga mendatangkan pembicara ahli. thanks

Subhan, mahasiswa

2:55 PM

 
Anonymous Anonymous said...

Saya usul, gimana kalo presenter bikin makalah pengantar, sekaligus kritik. Oya... sekali-kali 164 juga mendatangkan pembicara ahli. thanks

2:56 PM

 

Post a Comment

<< Home