Forum Kajian 164, wadah anak muda NU yang mengaji berbagai pikiran dan praktik keagamaan, sosial-politik dan budaya secara kritis. Angkatan baru ini sadar, akar tradisi adalah modal dasar guna menghadapi perubahan. Modernitas berikut praktik2 diskursifnya tidak diterima taken for granted, tapi diapresiasi secara kritis dan selektif dengan menimbang kepentingan sosial. Forum ini hadir guna merefleksikan dan meracik berbagai hazanah tradisional dan produk kekinian itu demi kemaslahatan umat

Thursday, July 27, 2006

Keadaban Publik: Gerakan Menciptakan Habitus Baru


Oleh B. Herry-Priyono


Keadaban Publik: Bukan sekedar sikap santun dalam kehidupan publik, melainkan gugus kebiasaan (social habits) cara berpikir, cara merasa, dan cara bertindak (habitus) yang berisi:

  • sikap konsideran terhadap orang lain.
  • kapasitas melaksanakan ciri konsekuensial hidup bermasyarakat: bahwa tindakan kita mempunyai dampak (baik/buruk) pada kondisi hidup orang lain.
  • gerakan untuk membuat kehidupan bersama menjadi tata 'komunitas' (community), dan bukan sekedar 'kerumunan' (crowd).

Konteks Urgensi

'De-regulasi' sbg salah satu kemungkinan entry point: 'De-regulasi' mungkin muncul dari dadakan pragmatis ekonomi, tetapi dasarnya bukan konsepsi ekonomi. De-regulasi adalah premis baru pengelolaan tata-negara, for better or worse:

  • Bahwa jatuh-bangun dan hidup-matinya suatu negeri tidak boleh lagi hanya tergantung pada kinerja aparat dan instansi pemerintah (logika negatif).
  • Tetapi itu berarti, jatuh-bangun dan hidup-matinya suatu negeri juga tak bisa lagi hanya menjadi beban tanggungan pemerintah; jadi juga merupakan beban tanggungan para pelaku dan badan-badan di sektor-sektor non-pemerintah (logika positif).
  • Implikasi: sektor-sektor non-pemerintah (bisnis, perguruan tinggi, agama, etc) juga pembentuk serta penentu hidup-matinya suatu negeri.

Transformasi yang Terlibat

  • De-regulasi bukan tidak-adanya regulasi, melainkan perluasan dan pemindahan locus otoritas regulasi: dari state-regulation ke self-regulation. Maka de-regulasi sebenarnya berisi 're-regulasi', dengan individual self sebagai aktor-regulator alternatif.
  • Apa dasar individual self menuntut bertindak sebagai sumber dan pelaku "otoritas" regulasi? Jawab: individual self-determination yang terungkap dalam sovereignty & freedom of individual choices.
  • Bila sumberdaya pemerintah melakukan regulasi adalah "mandat", apa sumberdaya self-regulation? Jawab: pemilikan dan/atau kontrol atas berbagai sumberdaya (finansial, fisik, teknologis, pengetahuan, material, dsb) yang di-konversi-kan menjadi capital. Itulah mengapa terjadi penerapan istilah capital pada bidang "non-ekonomis" (e.g., cultural capital, symbolic capital, etc).

Beberapa Implikasi

  • Selain 'pemerintah', the sovereignty & freedom of individual choices/tastes menjadi locus kekuatan regulatif baru yang amat menentukan corak social habits -> public habits -> public (in)civility. Atau, dalam arti tertentu bahkan bisa dikatakan 'pemerintah' sering hanya menjadi sekedar penjaga legalitas.
  • Prototype-nya adalah kinerja 'kebebasan pilihan individual' dalam transaksi ekonomi pasar-bebas (individual preference as the role regulator). Cf. "I am free to do whatever my tastes dictate me and whatever my purchasing power could afford".
  • Soalnya, belum ada mekanisme institusional apapun yang menjamin bahwa corak kebebasan selera individual' itu selalu menghasilkan tata 'hidup bersama' yang civilised (kecuali tentu argumen un-intensionalitas invisible hand - cf. Adam Smith).
  • Simpul: kekuatan pembentuk corak kehidupan publik bukan lagi hanya daya-regulatif 'pemerintah', tetapi juga daya-regulatif 'kebebasan selera/pilihan individual'.

Good Social Habits -> Keadaban Publik

  • Daya-regulatif 'kebebasan pilihan/selera individual' itu tercermin dalam corak social habits. Seluruh gugus social habits ini membentuk apa yang sering ditunjuk dengan istilah 'public culture'.
  • Soalnya: good social habits -> public civility; bad social habits -> public incivility. Biasanya penyebarannya terjadi melalui kinerja herd principle of actions.
  • Contoh: silahkan memberi nama social habits apa yang berlangsung luas dalam perilaku lalu-lintas, antrian, tribalisme agama, illegal logging, KKN, acara-acara televisi, malpraktik bisnis, plagiarisme, etc.
  • Dari contoh-contoh itu tampak bahwa locus, sumber, dan pelaku public civility/incivility itu beragam, dan bukan monopoli aparat/instansi pemerintah.
  • Implikasi: Civil Society bukanlah vis-à-vis pemerintah, melainkan vis-à-vis kekuatan apa saja yang kinerjanya menimbulkan public invicility (entah kekuatan agama, media, bisnis, militer, ataupun pemerintah, etc).

Ringkasnya,

Inti agenda gerakan 'keadaban publik' adalah re-edukasi social habits ke arah penciptaan new civilised social habits dalam tiga poros/ranah kehidupan publik, yaitu poros/ranah 'pasar', 'badan publik', dan 'komunitas'.

Menuju Eksperimen Perubahan (Beberapa Syarat)

  • Bidang eksperimen harus menyangkut social habits yang punya visibilitas publik luas, tetapi dekat dengan hidup sehari-hari seluruh warga kampus.
  • Bidang eksperimen harus kasat-mata, di depan mata, dalam pengaruh seluruh warga kampus, dan bisa punya dampak kolosal bila dilakukan serentak oleh jaringan komunitas-komunitas kampus se-Indonesia.
  • Bidang eksperimen berupa gejala publik, yang penyebab dan solusinya merupakan titik temu kinerja 3 poros kekuatan yang membentuk corak public (in)civility, yaitu market, public agency, community.
  • Perubahan gradual lebih disandarkan pada kinerja habituation of civilised public practices; wacana akademis diadakan untuk mendukung.

Contoh Eksperimen: Lalu-lintas (gejala 'ketidakadaban publik')

  • Luasnya kebiasaan tidak berhenti (tetap melaju) ketika lampu lalu-lintas berwarna merah.
  • Luasnya pemakaian lampu warna putih-terang (bukan merah) pada bagian belakang motor/mobil yang amat mengganggu pengendara di belakangnya.
  • Luasnya pemakaian knalpot dengan volume suara yang membuat pekak, hingga menimbulkan noise stress.
  • Luasnya kebiasaan mendahului dari sebelah kiri, kebiasaan potong jalan seenaknya, melaju dari arah sebaliknya pada jalan satu-arah.
  • Luasnya kebiasaan transportasi publik berhenti bukan pada halte perhentian yang tersedia, tapi di ruas-ruas jalan hingga menimbulkan kemacetan total.
  • Dan masih banyak lagi: soal parkir, pemakaian lampu, kecepatan, balapan dengan taruhan di jalan-jalan protokol, etc.

Bukan gejala aneh bila sedang muncul suatu generasi yang tidak lagi mengerti dan punya kebiasaan bahwa lampu merah lalu-lintas berarti berhenti, atau bahwa lampu belakang motor/mobil harus berwarna merah, dan bukan putih-terang.

Kesalingterkaitan Tiga Poros

  • Pada poros public agency: menyangkut soal yang luas diketahui, seperti lemahnya penegakan hukum lalu-lintas, kebiasaan korup polisi lalu-lintas, etc.
  • Pada poros market: menyangkut soal seperti ledakan penjualan kendaraan bermotor, bisnis knalpot serta asesori kendaraan bermotor, etc.
  • Pada poros community: menyangkut soal perluasaan uncivilised individual actions menjadi uncivilised public habits melalui herd actions, emulasi dan kompetisi selera serta gaya-hidup, etc.

Selama ini, faktor yang selalu ditunjuk sebagai locus problematicus adalah faktor-faktor dalam poros 'badan publik'. Itu hanya sepertiga dari problem, dan hanya sepertiga dari solution. Gerakan 'keadaban publik' menyangkut ketiga poros.

Menuju Agenda Programatik

  • Perencanaan: desain dibuat dengan basis kota, dan melibatkan komunitas-komunitas kampus yang ada di kota bersangkutan.
  • Isi strategi: kampanye besar-besaran yang meliputi contoh-contoh aksi di jalan, selebaran, media, leaflets berisi new civilised habits dalam berlalu-lintas, kerjasama dengan poltas, wacana publik, dsb.
  • Alat ukur: dalam bentuk indeks yang berisi indikator penunjuk turun-tidaknya uncivilised habits dalam berlalu-lintas (e.g., soal parkir, traffic lights, pemakaian lampu, noise stress, etc).

Akhirnya,

  • Jika selama ini rute pemahaman kognitif-intelektual yang luhur tidak juga mampu menggerakkan perubahan, mungkin kita perlu masuk melalui premis yang lebih "primitif", yaitu diktum "nothing is stronger than habit".
  • Jika "prinsip kawanan-hewan" (herd principle) telah me-reproduksi public incivility, mungkin melalui "prinsip kawanan-hewan" itu pula public civility akan mulai terbentuk dan ter-reproduksi.
  • Dengan gerakan penciptaan new civilised habits, mungkin kita akan membentuk habitus baru bagi kehidupan publik di Indonesia.

Catatan Tambahan

a) Habitus "Acquired generative schemes.that make possible the endless reproduction of thoughts, perceptions and actions; .a product of history, produces individual and collective practices. in accordance with the schemes generated by history. It ensures the active presence of past experiences, which, deposited in each organism in the form of schemes of perception, thought, and action, tend to guarantee the "correctness" of practices and their constancy over time, more reliably than all formal rules and explicit norms". (Pierre Bourdieu, The Logic of Practice, 1990, pp 54, 55)

b) Tiga Poros sebagai Kekuatan

  • Badan publik (public agency) menunjuk pada badan pengatur bagi kemungkinan tata hidup bersama suatu negara-bangsa. Instansi yang mempunyai wewenang melarang perusahaan kayu menebangi pohon di hutan lindung demi "kesehatan" lingkungan, misalnya, adalah wajah poros badan publik.
  • Pasar (market) menunjuk pada spontanitas transaksi ekonomi tanpa komando dan paksaan dalam pengadaan barang/jasa. Spontanitas transaksi yang terjadi antara penjual dan pembeli di pasar, toko, atau arena jual-beli lain merupakan contoh kekuatan pasar.
  • Komunitas (community) menunjuk pada spontanitas relasi sosial antar anggota warga, bersifat non-administratif dan non-transaksi ekonomis. Spontanitas warga menanam pohon bagi penghijauan lingkungannya - dan itu bukan karena transaksi jual-beli atau keharusan administratif – merupakan contoh wajah komunitas.

c) Tiga Poros sebagai Ranah

  • Tiga poros itu bukan hanya tiga sosok kekuatan yang kinerjanya menentukan kondisi masyarakat, tetapi juga merupakan tiga arena utama kegiatan dan hubungan kita sebagai warga negara. Masing-masing kita terlibat dalam ketiganya. Misalnya, ketika kita pergi ke pasar untuk membeli beras, kita berhadapan dengan dan berada di arena poros 'pasar'. Ketika membuat sertifikat tanah, kita berhadapan dengan dan ada di arena 'badan publik'. Ketika ikut pertemuan lingkungan untuk memperbaiki jalan di desa secara swadaya, kita berhadapan dengan dan ada di arena 'komunitas'.
  • Meskipun masing-masing kita terlibat dalam kinerja ketiga poros/arena itu, dalam praktiknya tiap-tiap poros/arena ditandai para pelaku yang lebih menentukan dibanding warga lainnya. Seorang bupati adalah pelaku utama poros 'badan publik', investor adalah pelaku utama poros 'pasar', sedangkan seorang penggiat rukun tani adalah contoh pelaku utama poros 'komunitas'.

d) Kekhasan masing-masing Poros

  • Kinerja tiga poros tersebut secara bersama-sama menyangga kelangsungan hidup suatu masyarakat. Masalahnya, kinerja tiga poros tersebut digerakkan oleh logika yang saling berbeda, atau bahkan sering kali saling bertentangan.
  • Poros 'badan publik', misalnya, digerakkan terutama oleh motif pengaturan tata hidup bersama, poros 'pasar' digerakkan terutama oleh motif untung-rugi dan efisiensi ekonomi, sedangkan poros 'komunitas' digerakkan oleh motif kerekatan sosial warga.
  • Itu berarti, masing-masing poros mempunyai "aturan main" yang khas. Pemaksaan "aturan main" salah satu poros terhadap poros lainnya biasanya menjadi bibit kerusakan hidup bersama (public incivility).


*Catatan ini aslinya berbentuk artikel berformat presentasi power point yang disajikan pada acara Forum Rektor Indonesia, Surabaya, 18 Mei 2005.

Kepemimpinan Republik


Oleh: B Herry-Priyono


KEGEMARAN kita membicarakan secara ad infinitum perkara kepemimpinan sebagai penyebab masalah yang mendera kita mungkin punya muasal sekurangnya dalam lima gejala berikut.

PERTAMA, kita belum beranjak dari masa kanak-kanak ketika apa yang memikat adalah dongeng tentang orang-orang hebat, mythical or real. Itulah model moralitas yang disangga rasa terpesona pada kegagahan tokoh besar. Bukankah sejarah dalam benak anak berupa deretan kisah orang besar? Diponegoro, Alexander Agung, Joan d’Arc, dan sebagainya. Pokok ini tak perlu dilihat sebagai soal baik atau tidak baik. Cukuplah kita kenali sebagai gejala dalam genangan bawah sadar atau ketidaksadaran kolektif kita.

Kedua, kegemaran itu adalah bagian pemujaan pahlawan. Gejala ini merupakan implikasi dari pokok di atas: barang siapa menyelamatkan kita dari kesesakan, dialah sang pahlawan. Sebagaimana kita sudah hafal dari dongeng "ratu/raja adil", gejala itu menjamur pada kondisi kesesakan. Makin akut kesesakan, makin kuat pula kerinduan kita akan pemimpin yang menyelamatkan, entah rindu itu terjelma dalam doa diam-diam ataupun amarah atas tiadanya pemimpin andal.

Ketiga, gejala itu merupakan cara kita membebankan solusi masalah pada pemimpin. Kita tahu orang hebat dalam dongeng-dongeng itu adalah manusia seperti kita. Namun, meminjam diktum Orwellian, kita juga tahu beberapa orang lebih "hebat" dibanding lainnya. Dalam cara tutur harian, gejala ini terjadi lebih subtil. Kita gemar mengucapkan klisé "keluasan KKN disebabkan tiadanya penegakan hukum". Namun, kita enggan melihat fakta bahwa hakim dan seluruh jajaran pengadilan begitu mudah dibeli para pemilik uang. Jadi, kita tahu para hakim manusia seperti kita, dan pada saat yang sama menuntut mereka bukan seperti kita.

Keempat, pembicaraan kita tentang kepemimpinan berakar pada truisme berikut. Berbagai masalah yang mengepung kita bukan gejala alami seperti gempa bumi, tetapi hasil relasi timbal balik antara tindakan manusia dan struktur sosial. Tak ada struktur sosial yang tidak melibatkan pelaku/tindakan, sebagaimana juga tidak ada tindakan yang dilakukan di luar struktur tertentu. Contohnya, perampokan dana bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) atau kasus Bank Lippo jelas melibatkan pelaku yang bisa kita tunjuk dengan lugas. Akan tetapi, para pelaku itu beroperasi dalam skema cara perampokan yang sudah lama menjadi pola relasi bisnis-pemerintah. Karena masalah masyarakat disebabkan oleh tindakan orang-orang konkret, solusinya juga menyangkut koordinasi tindakan. Karena tak ada koordinasi tanpa koordinator, muncul kontroversi tentang siapa/bagaimana sang koordinator. Koordinator hanyalah nama lain bagi "pemimpin". Kemudian kita sibuk mencari "pemimpin".

Kelima, kontroversi tentang "kepemimpinan" merupakan kombinasi keempat pokok di atas.

Sketsa kecil ini terutama didasarkan pada pokok keempat. Selain itu, pokok berikut juga hanya menyangkut soal yang terkait dengan kepemimpinan Republik (eksekutif, legislatif, yudikatif), bukan kepemimpinan agama, sekolah, bisnis, atau arisan.

Indonesia sebagai "res publica"

Tak ada masyarakat yang tidak punya masalah. Omongan tentang "masyarakat yang bebas masalah" adalah buih verbal. Tentu soalnya adalah kadar. Ketika kita bilang "krisis besar", itu hanya berarti kita menganggap masalah yang mendera kita berisiko tinggi meremuk rajutan yang mendasari kelangsungan hidup bersama yang disebut ’Indonesia’.

Mengapa kita meratap jika tata yang bernama ’Indonesia’ hancur? Bukankah apa pun yang ada di bawah langit, termasuk ’Indonesia’, bisa sirna? Rupanya kuncinya terletak pada teka-teki psikososial berikut. Sementara kita terus mengumbar gaya-hidup sok, melakukan korupsi dengan penuh kebanggaan, menggusur dan memeras orang-orang miskin dengan brutal, kita tetap menghendaki adanya ’hidup bersama’ yang disebut ’Indonesia’. Indonesia adalah cita-cita res publica (urusan bersama).

Heboh mengenai "kepemimpinan" adalah gaduh kita tentang ketidakberdayaan dan kemalasan kita sendiri untuk mengoordinasi cita-cita itu menjadi realitas. Kemudian kita membebankan ketidakberdayaan kita kepada para pemimpin. Fakta bahwa pembebanan itu di-sah-kan lewat prosedur pemilu tidak mengurangi statusnya sebagai pembebanan. Cuma, karena dalam setiap harapan biasanya terlibat peng-lebih-lebih-an, pada proses itu berlangsung gerak bawah sadar di mana kita mengangkat manusia menjadi malaikat, atau sekurangnya manusia super. Ketika tahu sang pemimpin juga manusia seperti kita, kita gusar dalam kekecewaan.

Mungkin ada baiknya kita menyimak lebih serius fakta berikut. Cita-cita res publica tidak terjadi di ruang kosong, melainkan berlangsung dalam hiruk-pikuk basic instincts kita, yang kinerjanya punya implikasi begitu mendalam. Itulah pathos kekuasaan (pathos for power).

Kekuasaan sebagai perangkap

Pada tataran paling sederhana, "kekuasaan" berupa kapasitas A untuk membuat B melakukan apa yang A kehendaki terhadap B, juga bila B tidak menghendakinya. Dari definisi ini pun segera tampak, kekuasaan punya sumber/bentuk jamak, bukan tunggal. Ada kekuasaan yang berakar pada uang (bisnis), hukum (DPR/pemerintah), informasi (media), senjata (militer), doktrin (agama), dan sebagainya.

Masing-masing kategori tidak lebih penting dibanding lainnya. Dari mana kapasitas itu datang? Dari pemilikan/kontrol sumber daya secara asimetris: uang, senjata, doktrin, hukum, dan sebagainya. Diagram berikut mungkin dapat memperlihatkan watak jamak sumber dan bentuk kekuasaan dalam masyarakat:

Dari diagram itu, tampak jelas ketika kita bicara soal kepemimpinan, biasanya kita hanya berbicara "kekuasaan pemerintah". Pemerintah memang merupakan badan yang, dalam gagasan demokrasi, bertugas mengelola res publica yang bernama ’Indonesia’. Tetapi, dari diagram itu juga tampak otoritas pemerintah untuk mengelola Indonesia ada dalam pusaran kinerja berbagai kekuasaan lain, seperti para pemodal, agama, ilmu-teknologi. Artinya, dalam mengelola tata Indonesia, pemerintah dikekang dan dimungkinkan oleh kinerja berbagai kekuasaan lain. Oleh karena itu, argumen bahwa pemerintah merupakan satu-satunya pemegang riil kekuasaan dalam masyarakat Indonesia paling banter hanyalah argumen "macan kertas". Klaim itu tidak ada dalam situasi empiris, dan lemah secara konseptual.

Justru karena otoritas pemerintah dikekang dan dimungkinkan oleh kinerja berbagai kekuasaan lain, muncul teka-teki. Kasus BLBI, misalnya, berupa pola di mana pemerintah didikte oleh beberapa konglomerat. Kasus Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) berisi pola di mana pemerintah dikendalikan beberapa kelompok agamis-sektarian. Karena itu, ketika kita memakai istilah ’negara’, sebenarnya ia bukan pelaku, melainkan arena yang diperebutkan, semacam ring tinju. Para petinjunya ialah kita, berbagai kelompok dengan kinerja kekuasaan seperti dalam diagram. Cita-cita hidup bersama bisa patah bukan lantaran maksud buruk pejabat, melainkan karena mereka ditawan kelompok-kelompok seperti pemodal, kelompok agama, militer, dan sebagainya.

Pokok di atas sentral. Di satu pihak kita menginginkan kepemimpinan yang andal untuk mengelola republik. Di lain pihak, tak ada satu pun pemimpin republik yang tidak gagap, persis karena kinerjanya ada dalam pertarungan berbagai sosok kekuasaan lain. Netralitas pemimpin adalah harapan kita, tetapi juga suatu utopia. Persis dalam situasi inilah biasanya para bandit bisnis, agama, dan militer malang-melintang bagi kepentingannya sendiri dan kelompoknya.

Kondisi pingsan ’Indonesia’ bukan melulu karena tiadanya pemimpin, tetapi karena kita sebagai warga gagal menghentikan keganasan para bandit bisnis, agama, militer, dan lainnya. Lalu kita memaki dan bermimpi tentang seorang (atau dua orang, atau berapa pun) "ratu adil". Jika kita tidak sanggup, mengapa ia atau mereka kita andaikan sanggup?

Tiga pilar kepemimpinan

Pokok di atas hanya mau mengatakan, pemimpin itu orang yang mesti mengoperasikan kepemimpinannya dalam hiruk-pikuk pertarungan berbagai sosok kekuasaan yang tidak mudah diurai, yang simptomnya bisa kita kenali dalam persoalan sehari-hari.

Berikut ini adalah beberapa pokok sederhana yang mungkin berguna kita pakai untuk menggagas kualitas kepemimpinan republik. Tidak akan diajukan usulan klisé bahwa agar kepemimpinannya berkualitas, para pemimpin perlu pandai, energik, punya visi, tak membosankan, punya karakter, berani, dan semacamnya. Seorang pelajar teladan juga mempunyai ciri-ciri itu.

Sekurangnya ada tiga pokok dasar yang perlu kita cermati dalam rangka menemukan kepemimpinan republik:

1. Intelektualitas dalam arti luas

Apa yang dimaksud bukan soal jumlah/tingginya gelar formal karena gelar dengan mudah bisa dibeli. Bukan pula soal kepandaian formal. Yang dimaksud adalah keluasan, kedalaman, dan kepekaan wawasan dalam mendekati persoalan yang berdampak luas pada pembentukan dan perusakan ’Indonesia’. Tentu, keluasan-kedalaman-kepekaan itu biasanya mengandaikan kadar tertentu pendidikan formal, tetapi tidak setiap pendidikan formal membentuk kedalaman, keluasan, dan kepekaan wawasan.

Pokok di atas mungkin terdengar sebagai prasyarat menjadi intelektual- akademisi ketimbang pemimpin suatu republik. Bukan itu maksudnya. Bukan pula mau menunjuk pada philosopher king. Seperti akan tampak dalam dua pokok lain nanti, tanpa keluasan-kedalaman-kepekaan sebagai insting, pemimpin republik akan ditandai kedangkalan-kesempitan-kebebalan dalam mengenali kepentingan bersama yang mesti ditemukan dalam simpang siur berbagai sosok kekuasaan.

Keluasan, kedalaman, kepekaan-dengan demikian juga kesempitan, kedangkalan, dan kebebalan-para pemimpin pada gilirannya juga tercermin dalam selera bahasa, isi pidato, corak kebijakan, dan sebagainya. Keluasan-kedalaman-kepekaan para pemimpin juga punya kaitan erat dengan masalah sektarianisme dan non-sektarianisme. Semakin sempit/dangkal wawasan, makin tinggi pula probabilitas sektarianisme pemimpin republik.

Barangkali akan terkesan perkara kedalaman-keluasan-kepekaan wawasan ini hanya menyangkut karakter pada diri para pemimpin dan stafnya secara personal. Seperti akan kita lihat, implikasinya begitu besar pada cara melihat/mendekati berbagai masalah bangsa yang tak lagi bisa dipilah-pilah sebagai sekadar soal ekonomi, masalah hukum, persoalan etnis, dan sebagainya.

2. Mengatasi "ceteris paribus"

Ceteris paribus adalah ungkapan bahasa Latin (bentuk ablativus dari enam tasrif tata-bahasa Latin). Secara harafiah istilah itu berarti ’dengan melihat faktor-faktor lain sama/konstan’. Istilah itu merupakan ungkapan biasa dalam literatur Latin. Dalam ilmu ekonomi, istilah itu dipakai untuk menyatakan prosedur penjelasan sebab-akibat gejala dengan memakai variabel penjelas tertentu, tetapi dengan menangguhkan variabel-variabel penjelas lainnya.

Prinsip ceteris paribus ini bisa dikenakan untuk berbagai persoalan konkret. Diagram tentang masalah korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) berikut mungkin berguna sebagai visualisasi contoh:

Dari diagram itu mungkin segera kita kenali, selama ini penjelasan dan solusi KKN hanya difokuskan pada faktor B (penegakan hukum), dan faktor penjelas/solusi lain (A, C, D, E) dianggap sebagai ceteris paribus. Artinya, faktor-faktor lain itu dianggap konstan/tak berubah. Padahal, dalam situasi nyata, faktor A, C, D, dan E tidak pernah tetap/sama/konstan.

Apa kaitan pokok itu dengan kepemimpinan? Dengan bantuan diagnosa keilmuan, kita memahami secara lebih jernih kinerja sebab-akibat serta solusi berbagai persoalan dalam masyarakat kita (misal KKN, konflik umat beragama, kasus BLBI, konsumerisme, dan lain-lain). Akan tetapi, spesialisasi dunia ilmu akan selalu membuat diagnosa keilmuan bersifat ceteris paribus. Artinya, selalu cenderung mendekati masalah secara terbatas dari sudut keilmuan tertentu (misal dari sudut hukum atau ekonomi), dan menangguhkan berbagai perspektif lain sebagai penjelas yang tidak kalah penting (misalnya sudut psikologis atau sosiologis). Atau, kita menganggap perspektif-perspektif lain sebagai konstan. Di situlah terletak kerancuan fatal lantaran masalah faktualnya sekaligus berupa soal hukum, ekonomi, psikologi, sejarah, sosiologi, dsb.

Contohnya, pada awal Januari 2003 terjadi kontroversi tentang penghapusan subsidi bahan bakar minyak (BBM). Alasannya, pemerintah kelabakan mencari revenue, subsidi BBM tidak efektif, subsidi membuat ketergantungan, subsidi merusak pasar bebas, subsidi membebani neraca keuangan, dan sebagainya. Dengan mudah orang yang mengerti sedikit saja ekonomi-politik akan mengenali, semua alasan itu diajukan dari sudut liberalisasi, meskipun ekonomi liberalisasi yang sama juga menggelapkan fakta subsidi bagi para bankir yang jauh lebih besar dibanding subsidi bagi bahan kebutuhan dasar kaum miskin.

Di mana letak kebangkrutan intelektual saat itu? Pertama, kegagalan "implementasi" subsidi dipelintir menjadi alasan untuk menghapuskan raison d’être subsidi. Itu mirip dengan pola ini: karena rapor sekolah Anda buruk, Anda tidak boleh bersekolah. Kedua, dalam menggunakan pendekatan ekonomi mainstream sebagai solusi pokok, pendekatan lain (psikologis, hukum, kriminologi) dianggap tidak relevan. Kuatnya protes menjadi isyarat bahwa ceteris paribus dalam kebijakan BBM itu bukan kebijakan publik yang "baik" untuk saat itu.

Pokok itu tidak berarti bahwa pendekatan keilmuan tidak berguna bagi diagnosa dan solusi masalah republik. Yang mau diajukan, konstelasi masalah Indonesia merupakan pertautan erat antara berbagai soal hukum, ekonomi, psikologi, sejarah, sosiologi, dsb; tanpa ceteris paribus. Kedalaman-keluasan-kepekaan wawasan pemimpin menjadi syarat mutlak karena ia punya misi menggabungkan dan sekaligus mengatasi parokialisme tiap pendekatan. Pokok ini langsung relevan pada masalah "para pembisik sang pemimpin".

Pemimpin biasanya dikelilingi beragam orang yang secara legal atau ilegal menjadi "pembisik" keputusan. Mereka bisa penulis pidato, staf ahli, dukun, atau bisa juga para makelar serta desperado yang ingin segera menjadi menteri. Gelarnya juga bisa beragam, hasil belajar serius, asal lulus, hasil membeli ijazah (satu atau lima); dari universitas top sampai universitas papan tengah dan papan nama. Mungkin saja mereka fasih memberi masukan. Namun, urusan kepemimpinan republik adalah soal lain karena perspektif tertentu para "ahli" itu perlu ditempatkan dalam kerangka "pengatasan ceteris paribus" yang mutlak perlu untuk mendekati masalah. Banyak kebijakan akhirnya berisi keputusan norak karena pemimpin cuma mengikuti "bisikan" tanpa menempatkannya dalam bingkai masalah republik. UU Sisdiknas adalah contoh keputusan norak itu.

Keharusan mengatasi ceteris paribus itu tidak berarti kebijakan tidak boleh memberi tekanan tertentu pada satu atau dua hal menurut kekhasan masalah. Divestasi Indosat, misalnya, pertama-tama tentu perlu dilihat sebagai soal ekonomi keuangan perusahaan. Tetapi, menganggap divestasi tidak punya implikasi pada soal politik adalah sebentuk kenaifan karena divestasi melibatkan pengalihan sumber daya ekonomi yang tentu saja menyangkut soal kekuasaan.

"Intelektualitas dalam arti luas" dan "pengatasan ceteris paribus" punya implikasi mendalam bagi pengambilan ’kebijakan publik’.

3. Kebijakan publik

Apabila intelektualitas merupakan habitus kepemimpinan, dan pengatasan ceteris paribus adalah modus procendi kepemimpinan, kebijakan publik adalah arena di mana keduanya menjelma. Tinggi rendahnya kualitas kepemimpinan langsung kasatmata pada dataran ini.

Suatu kebijakan disebut ’publik’ bukan terutama karena diundangkan, bukan pula karena dilaksanakan umum, tetapi karena soalnya menyangkut hidup bersama. Mengapa hidup bersama membutuhkan public policy? Dalam refleksi para pemikir seperti Thomas Hobbes dan Adam Smith, misalnya, kondisi asali kita berupa konflik tak berkesudahan antarindividu (manusia ialah serigala bagi sesamanya). Inilah yang disebut "masalah Hobbesian tentang tatanan". Jadi, di satu pihak, orang ingin berbuat sesukanya tanpa memikirkan kebutuhan orang lain. Di lain pihak, hidup bersama hanya mungkin berdiri di atas tatanan yang mengakomodasi kebutuhan banyak orang. Mengelola tegangan keduanya merupakan raison d’être kebijakan publik.

Soalnya adalah, solusi atas tegangan ‘kondisi Hobbesian’ dan ’cita-cita tatanan’ itu terperangkap dalam kinerja berbagai sosok kekuasaan. Misalnya, bisa saja para pemimpin republik peduli atas banyak buruh yang kena PHK. Tetapi, kepedulian itu terperangkap dalam tata globalisasi yang corak utamanya berupa kemudahan tanpa kendali keluar masuknya modal di tangan para tuan besar finansial.

Sebaliknya, bisa saja seorang wali kota begitu peduli investasi. Per definisi, ia akan membangun makin banyak mal, bahkan bersemangat menggusur taman-taman kota dan ruang-ruang publik. Akan tetapi, kepedulian itu tak bisa dilihat di luar akal-sehat bahwa keberlanjutan hidup urban membutuhkan tata ekologi taman serta ruang publik sebagai "jantung sehat".

Dari dua contoh itu mungkin segera kita kenali bagaimana kebanyakan policy di Indonesia dibuat. Dalam contoh pertama, kebijakan publik biasanya mengabaikan kondisi buruh, sedangkan dalam contoh kedua kebijakan biasanya bernafsu menggusur taman-taman, ruang-ruang publik, situs peninggalan sejarah untuk orgy shopping di mal. Maka tidak heran bila kota makin dibungkus polusi, anak-anak kota tak lagi punya tempat bermain di alam, kita tak mampu belajar dari sejarah, konsumerisme menggila; itu semua membiakkan kedangkalan kita. Pudarnya Res Publica ’‘Indonesia’ memang tidak hanya disebabkan orgy kekerasan, tetapi juga orgy seduksi yang seolah-olah dilakukan atas nama "hak asasi" dan "kebebasan ekspresi" (misal konsumerisme, pamer kemewahan).

Kebijakan publik seperti itu tidak layak disebut ’kebijakan’, apalagi disebut ’publik’. Ia tidak lebih dari pelaksanaan kinerja perentangan kekuasaan para pemilik uang dalam kolusinya dengan para pejabat. Rencana penggusuran Observatorium Bosscha (Lembang, Bandung) untuk pusat belanja adalah kasus yang akan segera meledak.

Bukan ’kekuasaan’ yang menjadi soal. Apabila sesuatu (misal X) merupakan faktor konstan dalam hidup, maka soalnya bukan ’ada’ atau ’tiada’nya X, melainkan bagaimana mengelola X bagi kebaikan bersama. Begitu pula dengan kekuasaan, soalnya bukan ’ada’ atau ’tiada’nya kekuasaan, tetapi bagaimana mengelola kekuasaan bagi kebaikan umum.

Para pemimpin republik diberi mandat untuk mengelola soal seperti itu. Senjatanya adalah ’kebijakan publik’. Kebijakan publik merupakan tindakan legitim untuk mengelola kinerja para pelaku dalam berbagai tegangan kekuasaan bagi tujuan kesejahteraan bersama.

Tiga pilar kepemimpinan di atas (’intelektualitas dalam arti luas’, ’pengatasan ceteris paribus’, dan ’kebijakan publik’) terkait erat satu sama lain. Tinggi rendahnya kualitas kepemimpinan republik berdiri di atas tinggi-rendahnya pemancangan tiga pilar itu.

Soalnya adalah juga seandainya tiga pilar itu telah tinggi terpancang, para pemimpin republik masih harus menjawab pertanyaan: "Indonesia seperti apa yang mau dibentuk?" Mengatakan "tentu saja, Indonesia yang adil dan beradab!" Sama dengan mengatakan terlalu banyak dan sekaligus terlalu sedikit. Pokok di bawah ini merupakan proposal kecil sebagai perangkat untuk melihat sejauh mana berbagai visi dan cita-cita luhur tentang ’Indonesia’ dijelmakan.

Tiga poros Indonesia

Setiap masyarakat modern yang beradab dibangun di atas perimbangan tiga poros kekuatan masyarakat: komunitas, pasar, dan badan publik.

Komunitas menunjuk pada spontanitas non-transaksi ekonomi dan non-administratif. Spontanitas warga untuk menanam pohon bagi penghijauan (bukan karena jual-beli atau keharusan administratif) merupakan wajah kekuatan ’komunitas’.

Pasar menunjuk pada spontanitas transaksi ekonomi tanpa komando dalam pengadaan barang/jasa yang diperlukan bagi kelangsungan hidup. Spontanitas jual-beli yang terjadi di Pasar Johar (Semarang), misalnya, adalah wajah kekuatan ’pasar’.

Badan publik menunjuk pada otoritas regulatif. Badan yang punya wewenang melarang perusahaan kertas membuang limbah di sungai merupakan wajah ’badan publik’. Selama kita menghendaki hidup bersama, selama itu pula kita butuh keberadaan badan publik. Diagram berikut mungkin berguna:

Tentu masing-masing kita terlibat dan menjadi pelaku dalam kinerja tiga poros itu. Kita sekaligus pelaku ’pasar’ (sebagai investor ataupun konsumen), pelaku dalam poros ’badan publik’ (sebagai camat atau warga negara biasa), dan pelaku ’komunitas’ (sebagai warga rukun kampung atau ketua lembaga swadaya masyarakay/LSM). Namun, juga jelas, masing-masing poros punya pelaku utamanya. Seorang Salim dan stafnya adalah aktor utama kekuatan ’sistem pasar’. Seorang wali kota adalah pelaku dominan poros ’badan publik’, sedangkan seorang aktivis asosiasi petani adalah pelaku utama poros ’komunitas’.

Perimbangan antara ketiga poros itu merupakan penentu sehat tidaknya masyarakat. Dominasi satu/dua atas satu/dua poros lain menjadi jalan menuju malapetaka. Dominasi ’badan publik’ atas hidup ’komunitas’ dan spontanitas ’pasar’ menghasilkan Stalinisme. Dominasi ’komunalisme’ atas otoritas legitim ’badan publik’ dan spontanitas ’pasar’ membiakkan konflik etnis-agamis-rasial. Dominasi ’sistem pasar’ atas ’badan publik’ dan hidup ’komunitas’ membawa brutalitas ketidakadilan dalam neoliberalisme.

Proposal kecil ini bisa dipakai sebagai kaidah praktis, dan bisa pula menjadi panduan untuk mencermati sejauh mana kebijakan-kebijakan bersifat membangun atau justru meremuk cita-cita ’Indonesia’. Membangun banyak mal dengan menggusur paksa merupakan tindakan penguatan aktor dominan ’pasar’ secara besar-besaran, tetapi dengan membuat hidup ’komunitas’ pingsan. Lalu, di mana ’badan publik’? Dalam banyak kasus, ’badan publik’ biasanya berwujud pemerintah daerah yang bertindak sebagai hamba para aktor dominan ’pasar’. Itulah pula yang rupanya terjadi dalam banyak kebijakan ekonomi yang mengabaikan entrepreneurship kecil-menengah, tetapi memberi keleluasaan besar-besaran kepada para tuan besar finansial.

Dari pokok itu mungkin segera tampak, dalam kondisi faktual di Indonesia poros ’komunitas’ sedang menjadi bulan-bulanan kolusi poros ’bisnis’ dan ’badan publik’. Dalam berbagai kasus, bahkan poros ’badan publik’ (pemerintah) cenderung kehilangan giginya lantaran mudah didikte poros ’bisnis’. Kerancuan fatal yang semakin menggejala dewasa ini adalah dalil sistem-pasar dipakai sebagai hakim tunggal untuk menilai salah benarnya semua kebijakan.

Apa relevansi semua itu bagi kepemimpinan? Kepemimpinan republik adalah visi, misi, dan tindakan memimpin seluruh warga republik untuk melakukan perimbangan tiga poros kekuatan masyarakat yang menjadi prakondisi hidup bersama. Dalam arti itu pula, ’Tiga Poros Indonesia’ bisa menjadi panduan bagi para calon pemimpin dalam membuat dan mengevaluasi isi serta arah kebijakan yang menyangkut hidup-mati republik.

Epilog

Mereka yang ingin menjadi pemimpin republik mungkin segera bilang, "Betapa sulitnya menjadi pemimpin Indonesia!" Karena sulit, kita lalu lebih pintar menjadi penonton yang meratapi atau memaki, sambil mengira bahwa sketsa di atas tidak berlaku untuk kita.

Jika demikian, tentu saja hari esok Indonesia akan tetap menjadi perjalanan orang buta yang memimpin orang buta. Atau, lantaran sibuk shopping dan nonton gosip serta dangdut di televisi, para koruptor, preman, dan jagal akhirnya memimpin Indonesia.

B Herry-Priyono Peneliti, staf pengajar pada program pascasarjana STF Driyarkara, Jakarta

* ESAI ini adalah ringkasan makalah dalam Seminar Nasional "Rekonstruksi Kepemimpinan dari Perspektif Psikososial", di Unika Soegijapranata, Semarang, 24 Mei 2003. Karena keterbatasan ruang, banyak rujukan dan data statistik dalam makalah asli tidak bisa dimuat.

Sumber: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0310/01/Bentara/580407.htm

Habitus Baru


Oleh: B. Herry Priyono


Apa kira-kira nama bagi tahun 2005? Rasanya ia seperti sungai-waktu yang baru saja kita selami, tetapi arus dasarnya belum juga kita kenali. Hari ini kita sejenak diam, merasakan arusnya yang sedang surut menjadi silam.

Dengan pesta-bunyi kita akan menyambut pagi meskipun tetap saja ada rasa menyesakkan berada di ruang-waktu negeri ini. Inilah negeri yang berulang kali ingin menyembuhkan diri, tetapi setiap kali kita dapati lagi sedang menghancurkan diri.

Para mandarin kebijakan publik telah mencoba banyak cara. Ada cara hukum, cara ekonomi, dan tentu cara politik. Namun, seperti raksasa yang pingsan, negeri ini belum juga siuman. Mungkinkah cara-cara yang ditempuh selama ini kelewat dangkal untuk menembus cacat yang jauh lebih mendalam?

Banyak produk hukum baru telah dihasilkan, tetapi belum juga tumbuh keteraturan. Demikian pula banyak program ekonomi telah dilakukan, tetapi malah menggiring semakin banyak orang ke gurun kemiskinan. Dan perubahan politik perwakilan telah dicoba, tetapi hasilnya cuma kebiasaan anggota DPR melancong sambil belanja.

Setiap kebijakan punya batas lantaran ia berjalan di atas endapan kebiasaan hidup sehari- hari kita yang membentuk Indonesia seperti yang kita hidupi sekarang. Dan gugus kebiasaan itu rupanya jauh lebih keras-kepala dibandingkan dengan berbagai perangkat kebijakan yang timbul tenggelam. Istilah bagi gugus kebiasaan itu adalah habitus.

Lapis kebiasaan

Habitus adalah kata biasa dalam bahasa Latin. Ia bisa berarti kebiasaan, bisa pula tata pembawaan atau penampilan diri. Semua mau menunjuk kecenderungan atau pembawaan diri yang telah menjadi insting perilaku yang mendarah daging, semacam pembadanan dari kebiasaan kita dalam rasa-merasa, memandang, mendekati, bertindak, atau berinteraksi dalam kondisi suatu masyarakat. Ia dipakai secara netral, baik untuk gugus kebiasaan yang dianggap terpuji maupun tercela. Ia dipakai untuk menunjuk kebiasaan banyak anggota DPR melancong dengan dalih studi banding maupun untuk kebiasaan spontan membuang sampah pada tempatnya.

Sebagai gugus kebiasaan rasa-merasa, memandang, serta bertindak, habitus bersifat spontan dan tidak disadari pelakunya, tidak pula disadari apakah kebiasaan itu terpuji atau tercela. Orang tidak sadar akan habitus-nya, sebagaimana orang tidak sadar akan bau mulutnya.

Melalui laku refleksi, istilah tua itu diangkat dan dikembangkan almarhum Pierre Bourdieu, pemikir Perancis, sebagai teropong analisis. Ia berguna, salah satunya, untuk menyingkapkan lapis tersembunyi dari penyebab banyak kemacetan suatu masyarakat seperti yang terjadi di Indonesia. Dengan berguru sejenak kepadanya, dan dengan risiko penyederhanaan berlebihan, banyak kemacetan di negeri ini mungkin terjadi lantaran dua kecenderungan berikut ini. Di satu pihak, anggapan bahwa kita adalah kerumunan yang bisa dibentuk menjadi apa saja sesuai dengan arah program kebijakan. Apa yang diperlukan adalah konsistensi penerapan kebijakan, dan perilaku tiap orang Indonesia akan berubah sebagai produk jelmaan dari corak kebijakan. Di lain pihak, anggapan bahwa dengan bebas kita bisa membentuk kehidupan bersama menurut kemauan pribadi kita masing-masing. Karena itu, berbagai kemacetan yang kita hadapi hanya mungkin diatasi dengan perubahan pada lingkup pribadi.

Kedua kecenderungan itu tidak sepenuhnya keliru, tetapi juga ada sesuatu yang kurang, meskipun sulit ditunjukkan. Mengapa banyak program yang sangat terpuji sekalipun mudah berguguran? Selain itu juga, mengapa kehendak pribadi yang paling mulia sekalipun mudah patah dihadang corak perilaku kerumunan?

Untuk melampaui tegangan seperti itu, ada sasaran bidik lebih sentral yang mesti dijadikan fokus. Fokus itu adalah endapan berbagai kebiasaan kita dalam rasa-merasa, memandang, dan bertindak yang disebut habitus. Habitus bukan lagi sebatas kebiasaan seseorang, melainkan seluruh gugus kebiasaan sosial yang tampak dalam corak praktik sehari-hari hidup bersama kita, dari praktik korupsi sampai perusakan hutan, dari kebiasaan plagiat sampai kebiasaan mengemplang utang yang dilakukan banyak bank kelompok bisnis di Indonesia dengan ujung pada kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

Ambillah contoh yang setiap hari ada di depan mata, yaitu lalu lintas. Salah satu gejala dari habitus berlalu lintas tampak pada momen di perempatan. Lampu lalu lintas sudah berubah merah, tetapi banyak mobil/motor tetap melaju. Andaikan Anda warga negara Malaysia yang baru saja tiba dari Kuala Lumpur dan mengendarai mobil di Jakarta, melihat lampu lalu lintas berwarna merah Anda berhenti, tetapi mobil/motor di belakang membunyikan klakson keras-keras, memaksa Anda melaju. Terkejut dengan cara itu, Anda geleng-geleng kepala, lalu terpaksa melaju.

Daya paksa kebiasaan berlalu lintas di Jakarta terhadap Anda yang ”taat hukum” itu sedemikian rupa sampai Anda merasa tak mungkin berada di jalan tanpa mengikuti habitus preman dalam berlalu lintas. Maka, ke dalam gugus habitus berlalu lintas di Jakarta ditambahkan seorang pelaku baru, yaitu Anda. Dengan itu, jarak antara aturan lalu lintas dan praktik berlalu lintas juga semakin jauh.

Lapis perubahan

Contoh kecil itu bisa direntang untuk soal-soal lain. Semua menunjuk ciri berbondong-bondong seperti kawanan-hewan (herd) yang menandai kinerja habitus. Pokok ini juga bisa melunakkan keyakinan kita yang terlalu mulia tentang sifat sadar perilaku kita. Dalam habitus kita tidak sesadar seperti cita-cita para filsuf meskipun juga tidak semekanis seperti mesin. Mungkin benar apa yang ditulis penyair Romawi Ovidius sekitar 2.000 tahun lalu: Tak ada yang lebih kuat daripada kebiasaan.

Jadi, selama ini rupanya berbagai program kebijakan di bidang ekonomi, politik, atau hukum berdiri tipis di atas endapan luas kebiasaan kita yang jauh lebih mendalam daripada lapis yang dibidik berbagai kebijakan itu. Program ekonomi, misalnya, bisa saja membentuk bingkai ekonomi pasar. Namun, dengan corak habitus kita sekarang, lebih mungkin yang berkembang biak adalah para maling, dan bukan pelaku pasar.

Akan tetapi, bukankah gugus-gugus kebiasaan itu bisa diubah oleh kebijakan? Mungkin! Namun, dari kegagalan berbagai kebijakan cukup jelas bahwa habitus yang beroperasi pada lapis kedalaman jauh lebih keras kepala daripada yang kita bayangkan. Yang lebih mungkin bukan program kebijakan yang mengubah habitus, melainkan kinerja habitus yang meremuk kebijakan. Itulah mengapa bahkan banyak kebijakan yang terpuji dengan cepat mengalami pembusukan lalu berguguran.

Jadi, soalnya bukan sebatas ketepatan kebijakan, melainkan transformasi gugus habitus pada skala sebesar bangsa. Cuma, sama seperti watak habitus, kita adalah orang-orang yang telanjur keras kepala, tidak akan percaya tanpa bukti di depan mata. Maka, hanya dari bidang-bidang yang kasatmata itu pula proyek pembentukan habitus baru dapat dimulai. Perubahan gugus kebiasaan pada dataran yang paling kasatmata ini niscaya akan memberi kita pengalaman rasa-merasa baru soal negeri yang sudah lama lebih mengenal keputusasaan ketimbang harapan.

Gugus kebiasaan yang paling kasatmata menunjuk gejala sekonkret seperti kebiasaan berlalu lintas, kebiasaan membuang sampah, dan semacamnya. Bila pada dataran yang paling kasatmata ini pun tidak terjadi perubahan habitus, mungkin terlalu tinggi bermimpi tentang perubahan dalam soal yang secara publik lebih tersembunyi, seperti jual-beli gelar dan korupsi. Dan yang penting lagi, gerakan perubahan habitus ini tidak mungkin dibebankan hanya kepada presiden meskipun mungkin dipimpin olehnya. Agenda perubahan habitus inilah, dan bukan siasat menaikkan harga bahan bakar minyak, yang jauh lebih pantas dipasang sebagai iklan sebesar halaman koran.

Corak habitus kita sebagai sebab tersembunyi banyak kemacetan bangsa ini mungkin terdengar seperti dongeng peri ketika diajukan pertama kali. Setiap kebenaran selalu lebih dahulu terasakan daripada terkatakan. Saat pertama diajukan, biasanya ia juga terungkap dalam rumusan yang serba cacat. Dan untuk waktu yang lama kita akan tergagap-gagap memahami, sampai kesesakan bersama memaksa kita akhirnya mengakui.

Dalam kesesakan itu, sesekali saya membayangkan seorang bijak yang datang ke tengah kita. Tatkala mendengar keluh kesah kita, ia hanya bersabda: Kejarlah dulu habitus baru, selebihnya akan ditambahkan kepadamu.

Selamat Tahun Baru.

oleh: B Herry-Priyono Pengajar Program Pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta; Sementara Tinggal di California

Sumber: Kompas, 01 Januari 2006

Sunday, July 23, 2006

Makna Baru Nasionalisme Teknologi


Oleh: Sulfikar Amir, PhD

Kemarin, sepuluh tahun yang lalu, sebuah peristiwa penting terjadi di Lapangan Udara Husein Sastranegara, Bandung. Disaksikan langsung Presiden Soeharto, ditemani BJ Habibie dan para elite politik Orde Baru, pesawat buatan Industri Pesawat Terbang Nusantara (sekarang PT Dirgantara Indonesia) melakukan terbang perdana.

Walaupun dihantui kekhawatiran akibat tulisan di Asiaweek yang memprediksi jatuhnya N250, pada akhirnya sejarah membuktikan bahwa para insinyur IPTN mampu menghasilkan produk teknologi tinggi yang bekerja dengan baik. N250 Gatotkaca terbang selama satu jam di atas Kota Bandung dengan langit biru tersenyum pada sang burung besi.

Peristiwa ini menjadi istimewa karena merupakan kado ulang tahun 50 tahun kemerdekaan RI. Selanjutnya, peristiwa monumental yang terjadi pada 10 Agustus 1995 menjadi peristiwa yang diperingati setiap tahun sebagai Hari Kebangkitan Teknologi Nasional. Inilah sebuah bentuk nasionalisme teknologi yang melekat erat dengan kedaulatan dan kemandirian sebuah bangsa.

Nasionalisme teknologi di Indonesia, khususnya di era Orde Baru, tidak lepas dari ketokohan Habibie. Selama 20 tahun sejak sekembalinya dari Jerman pada tahun 1974, ia mendominasi wacana teknologi di Indonesia.

Triliunan rupiah dihabiskan untuk menciptakan kelompok elite teknologi berkelas dunia, membangun institusi sains dan teknologi yang bertaraf internasional, dan mensinergikan beberapa industri strategis nasional dalam satu kendali.

Di sinilah pentingnya mengkaji ulang makna nasionalisme teknologi era Habibie yang sangat hegemonis. Implikasinya adalah dominannya kebijakan teknologi yang mengacu pada rasionalitas sempit dan lepas dari realitas sosial dan budaya masyarakat Indonesia.

Walaupun nasionalisme teknologi, sebagai sebuah ideologi, menghasilkan pilihan teknologi yang distortif dalam Orde Baru, bukan berarti nasionalisme teknologi tidak penting. Ketergan- tungan teknologi pada bangsa lain memiliki dampak negatif yang tidak ringan. Krisis energi, kurangnya produk pangan, rendah- nya keamanan transportasi, dan mahalnya biaya komunikasi adalah sedikit contoh dari berbagai permasalahan yang berkaitan dengan kemandirian teknologi. Karena itu, semangat nasionalisme teknologi diperlukan untuk mendorong upaya pencapaian kemandirian teknologi bangsa.

Makna baru

Sepuluh tahun sejak Hari Kebangkitan Teknologi dicanangkan, telah banyak peristiwa terjadi di negeri ini. Berbagai perubahan yang terjadi di masyarakat menuntut adanya sebuah makna nasionalisme teknologi yang baru. Makna ini tidak lagi berorientasi pada fantasi teknologi tinggi, tetapi pada konteks masyarakat di mana teknologi itu diciptakan dan digunakan. Ada tiga hal yang perlu diperhatikan dalam menciptakan makna baru nasionalisme teknologi tersebut.

Pertama adalah pemahaman mengenai teknologi itu sendiri. Dalam era Habibie, pengembangan teknologi didasarkan pada hierarki teknologi yang dibagi atas tiga kategori: teknologi rendah, teknologi madya, dan teknologi tinggi. Menurut Habibie, semakin tinggi teknologi yang dikembangkan, semakin besar pula nilai tambah yang diraih. Pemahaman ini bermasalah, pertama karena ahistoris dan menafikan fakta bahwa teknologi adalah produk intelektual manusia yang mengalami evolusi secara bertahap. Kedua, karena cenderung melihat perubahan teknologi sebagai faktor determinan dalam perubahan sosial dan tidak menyadari bahwa teknologi adalah produk sosial.

Pemahaman teknologi yang deterministik ini perlu didekonstruksi. Teknologi harus dipahami sebagai sebuah entitas yang tidak lepas dari dimensi sosial dan lokalitas. Kedua dimensi ini harus berko-evolusi satu sama lain secara harmonis. Nilai teknologi tidak lagi dilihat dari tingkat kecanggihannya, tetapi bagaimana teknologi menjadi bagian integral dari proses produksi sosial di masyarakat.

Hal kedua yang patut dikaji ulang adalah proses pemilihan teknologi. Karakter rezim Orde Baru yang otoriter berdampak pada proses pembuatan kebijakan teknologi yang sangat elitis dan sentralistik. Munculnya demokrasi pasca-Orde Baru membuka harapan baru bagi terbentuknya makna nasionalisme teknologi yang tidak lagi didominasi keinginan mengejar prestise.

Demokratisasi teknologi meliputi aspek proses dan orientasi kebijakan. Pada titik pandang ini, proses pembuatan kebijakan teknologi memberi peluang yang besar bagi partisipasi publik, tidak semata-mata dalam komunitas teknologi, tetapi mencakup masyarakat luas, khususnya mereka yang merasakan dampak langsung dari teknologi tersebut.

Hal terakhir yang perlu dikaji kembali adalah institusionalisasi teknologi. Sejarawan teknologi, Thomas Hughes, pernah mengatakan technology is far too important to leave only to engineers. Pesan ini mengingatkan kita bahwa teknologi bukanlah semata-mata pekerjaan dan tanggung jawab para teknolog.

Karena itu, jika kita ingin pengembangan teknologi di Tanah Air menghasilkan efek positif dalam masyarakat, pengembangan teknologi semestinya memungkinkan lahirnya teknologi yang lebih kontekstual. Karena itu, sudah saatnya Kantor Menteri Ristek melakukan restrukturisasi radikal agar dapat berinteraksi produktif dengan sektor yang lain.

Sulfikar Amir Doktor dalam Kajian Sains, Teknologi, dan Masyarakat, Rensselaer Polytechnic Institute di Troy, New York

*Tulisan ini adalah bahan pendamping dari makalah utama yang disajikan dalam forum kajian 164, Jum'at, 21 Juli 2006 di Gedung PBNU

Kebudayaan Madzhab Negara


Oleh: Mh Nurul Huda


Artikel yang sangat menarik dan berbobot ditulis oleh saudara Antariksa dan Puthut EA dengan judul “Kuasa Ekonomi Politik dan Kebudayaan Masyarakat” menanggapi tulisan saya di Kompas berjudul “Negara Perlu Mengurus Kebudayaan?”, dan dimuat kembali di KUNCI.


Beberapa minggu lalu, seorang staf Litbang Departemen Kebudayaan dan Pariwista, Cecep Rukendi, juga menanggapi tulisan saya tersebut dengan judul “Pentingnya Negara Mengurusi Kebudayaan” (Sinar Harapan, 11/12/2004). Tulisan itu dibuat untuk menanggapi tulisan saya di harian Kompas mengenai keberatan dan skeptisisme saya terhadap intervensi negara yang ikut campur dalam mengatur persoalan kebudayaan.


Tulisan saya “Negara Perlu Mengurus Kebudayaan?” pertama-tama lahir karena hendak menggugat betapa besarnya cengkeraman negara dalam denyut nadi kehidupan masyarakat. Dengan gugatan itu saya yakin akan memperlonggar ruang perlawanan-perlawanan kultural masyarakat terhadap dominasi negara. Departemen Kebudayaan dan Pariwisata perlu digugat karena keberadaannya telah membuat kebudayaan sebagai arena resistensi kultural itu menjadi semakin sempit dan sesak. Dan keberatan saya ini sebenarnya sangat jelas terletak pada domain paradigmatik dan analisis terhadap implikasi praktis paradigma tersebut dalam seluruh kehidupan masyarakat.


Inilah yang membedakan pandangan saya dengan pandangan saudara Cecep Rukendi yang tampak dalam pemaparan argumentasinya justru buru-buru melompat ke paparan yang serba normatif, dan oleh karena itu dangkal dan tampak mengalami kemiskinan analisis.


Dalam tulisan ini, saya akan memaparkan argumentasi paradigmatik yang bisa dipahami sebagai premis-premis dasar yang membangun seluruh posisi dan pendirian intelektual dan politis saya yang tentu saja akan berbeda dengan argumentasi-argumentasi praktis yang pernah saya ajukan dalam tulisan saya terdahulu. Tulisan ini juga sekaligus ingin mempertegas posisi saya terdahulu sekaligus sedikit mempertajam gagasan yang dilontarkan oleh saudara Antariksa dan Phutut EA di atas.


Paradigma Negara vs Kebudayaan

Dalam khazanah pemikiran politik dipahami bahwa negara adalah sebuah institusi politik yang keberadaannya dibentuk oleh suatu konsensus bersama masyarakat yang plural dan heterogen berdasarkan kepentingan warganya. Dan bukan sebaliknya negara yang membentuk dan menciptakan masyarakat. Konsekuensi dari pandangan pertama akan melahirkan suatu bentuk masyarakat yang demokratis di mana hak-hak kelompok masyarakat yang menjadi komunitas dalam negara tersebut dihargai dan dijamin eksistensinya; sementara pada pandangan yang kedua lazim berlaku dalam negara totalitarian di mana etatisme negara telah sampai ke arah penyeragaman dan pendisplinan terhadap kehidupan warganegara.


Embrio totalitarianisme selalu muncul dari kehendak negara untuk secara politis dan ideologis menguasai dan mengendalikan seluruh kehidupan masyarakat demi kepentingan penguasa, entah atas nama stabilitas keamanan, nasionalisme, patriotisme, harga diri bangsa, dan seterusnya. Pretensi seperti inilah yang pernah dimiliki oleh pemerintahan Nazi di Jerman dengan “menegarakan” semua urusan masyarakat, atau dengan kata lain “mentotalisasikan” gerak dan nadi kehidupan masyarakat ke dalam jaringan urat syaraf pusat kekuasaan negara tanpa menyisakan ruang sejengkalpun bagi kreatifitas dan kebebasan mereka. Semuanya berada dalam situasi under-control oleh negara.


Berbeda dengan model kekuasaan seperti itu, sebuah negara yang demokratis dan beradab akan menjamin keseimbangan antara entitas negara dan masyarakat. Dan untuk mencapai cita-cita tersebut negara seyogyanya mengurusi seminimal mungkin persoalan-persoalan kemasyarakatan dan membiarkan masyarakat sendiri mengembangkan kehidupan sosialnya secara manusiawi.


Dalam kehidupan sosial masyarakat inilah sesungguhnya hakikat kebudayaan bisa ditemukan. Ia adalah hasil interaksi sosial antara pribadi, individu-individu, dan kelompok-kelompok masyarakat dalam rangka merajut tatanan sosial bersama, membangun kehidupan yang emansipatoris dan mengusahakan agar tetap hidup survive. Dengan demikian, kebudayaan sebenarnya adalah kehidupan itu sendiri, tempat di mana semua persoalan dibicarakan dan didekati secara kultural. Kebudayaan lahir, berkembang dan semakin kaya dalam proses interaksi sosial manusiawi, tepat ketika kita meyakini bahwa kearifan masyarakat adalah titik fundamental menuju bangunan masyarakat yang manusiawi dan bermartabat.


Kebudayaan tidak berdiri di atas kekuasaan. Pendekatan politik terhadap kebudayaan justru akan melahirkan keputusan-keputusan dan kebijakan yang akultural (lugasnya bisa dibaca: tidak beradab) karena ia ditentukan oleh mekanisme kekuasaan yang justru menganggap kebudayaan sebagai konsep-konsep tunggal dan statis yang disusun di atas lembaran kertas dan menjadi agenda yang dijalankan berdasarkan sebuah program kerja beserta hitung-hitungan budgeting anggaran.


Negara dan Birokratisasi Kebudayaan

Salah satu konsekuensi kritis dari keterlibatan negara dalam rekayasa budaya akan menghasilkan apa yang kita sebut sebagai proses birokratisasi kebudayaan. Inilah yang tidak disadari oleh mereka yang biasa bekerja dalam sistem birokrasi karena mereka sendiri adalah bagian atau skrup dari sistem itu. Birokratisasi adalah model pengaturan, penataan, dan pengorganisasian secara rasional dan modern terhadap elemen politik maupun kultural masyarakat dengan tujuan meraih efisiensi dan produktifitas. Sistem birokrasi secara umum diterapkan dalam pengelolaan segala urusan kenegaraan agar bisa diselesaikan secara efisien sesuai dengan tujuan-tujuan pemerintahan.


Karena itu pada hakikatnya birokrasi sesungguhnya tidak pernah netral, serta bebas nilai dan kepentingan. Justru sebaliknya proses birokratisasi penuh dengan nuansa rasionalitas instrumental guna mencapai tujuan tertentu secara tepat, terencana, dan efisien. Karena itu tidak salah bila Weber menyebut kehidupan birokrasi ini sebagai “iron cage”, sebuah penjara besi, yang memasung kehidupan manusia. Dalam birokrasi, pesona kehidupan menjadi hilang, musnah.


Bagaimana bila kebudayaan mengalami proses birokratisasi? Pada dirinya sendiri birokratisasi kebudayaan adalah contradictio in terminis. Birokratisasi adalah proses rekayasa untuk mencapai tujuan produktifitas dan efisiensi yang cenderung berorientasi politik instrumental, sementara kebudayaan berproses secara sosial dan kultural dalam kehidupan sehari-hari masyarakat yang senantiasa cair dan mengalir.


Pendeknya kebudayaan selalu dalam proses “becoming” (menjadi), sedangkan birokratisasi cenderung meletakkan dan memaksakan entitas-entitas yang cair dan mengalir itu sebagai “being” (Ada) agar bisa dikerangkakan dalam sebuah kebijakan dan aturan yang mengikat. Atau dalam bahasa filsuf Jerman Martin Heidegger, birokratisasi kebudayaan adalah semacam “the way of revealing something as a standing reserve”, atau suatu bentuk “enframing” yang hendak mengkerangkakan kebudayaan sebagai sarana mengejar tujuan-tujuan dan kepentingan intrumentalis dan ideologis semata.


Di sini tentu saja pengerangkaan yang saya maksud adalah demi kepentingan dan rekayasa politik kekuasaan. Entah rekayasa ini masuk dan menjadi bagian dari hegemoni negara terhadap kehidupan warganegara, atau pola baru penyeragaman dan penaklukan terhadap resistensi kultural masyarakat sekaligus penyusupan kebijakan militerisme dalam ranah kultural, atau bahkan kecenderungan ekonomisasi kebudayaan. Bagian-bagian ini saling kait mengait dan berjalin kelindan dengan bagaimana kekuasaan negara membangun strategi dominasinya dalam kehidupan masyarakat secara “total”.


Ekonomisasi Kebudayaan

Kecenderungan ekonomisasi kebudayaan sebenarnya lahir dari apa yang disebut John B. Cobb, Jr. (seorang tokoh penerus Filsafat Proses) sebagai ekonomisasi politik. Artinya bahwa segala penyusunan kebijakan seringkali dibentuk oleh kepentingan-kepentingan ekonomi. Keuntungan ekonomilah yang men-drive dan mengendalikan kebijakan publik, kendati kebijakan tersebut harus mengorbankan orang lain. Meski memang biasanya faktor-faktor budaya, tradisi atau kepentingan religius memiliki peran dalam isu-isu publik, gejala mutakhir akhir-akhir ini menunjukkan bahwa kepentingan ekonomi memainkan peran determinan.


Dalam konteks inilah saya ingin kembali menegaskan bahwa asumsi para birokrat, dan para teknokrat yang bekerja untuk melayani birokrasi, yang menyatakan bahwa dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan meningkatkan prikehidupan kebudayaan adalah sesuatu yang naif dan omong kosong. Justru sebaliknya, apa yang terjadi sejak orde baru adalah ekonomisasi politik yang melahirkan kehancuran pada ranah kebudayaan. Pokok persoalannya justru terletak pada prinsip-prinsip ekonomi modern dan kekuasaan negara itu sendiri yang cenderung bersifat akultural (Herry Priyono menyebut kekuasaan ini sebagai sang “Leviathan”). Dalam arti ada proses pemaksaan dan penyeragaman yang dibangun atas nama pembangunanisme, modernisme, pertumbuhan ekonomi, stabilitas keamanan dan politik, stabilitas ekonomi (efisiensi dan produktifitas), dan seterusnya. Dalam hal ini cita-cita pembangunan jati diri bangsa dan kebudayaan nasional yang ditiupkan oleh kalangan birokrat dan penguasa tidak jauh dari hasrat dan kepentingan kekuasaan ini.


Dengan lugas bisa dikatakan, birokratisasi dan ekonomisasi kebudayaan sesungguhnya adalah representasi langsung perselingkuhan antara kepentingan modal dan kekuasaan. Sedang pecundangnya adalah komunitas subaltern (baca: komunitas marginal) dan masyarakat bawah sebagai pemilik kebudayaan itu sendiri. Inilah sisi gelap ideologi “kebudayaan madzhab negara” yang disokong para teknokrat kebudayaan kita.


*Dimuat di Situs: http://www.kunci.or.id/misc/huda_negara2.htm

Kuasa Ekonomi Politik dan Kebudayaan Masyarakat

Oleh: Antariksa dan Puthut EA.


Berdasarkan referensi langgam kebijakan negara Orde Baru (Orba), Mh Nurul Huda mengkhawatirkan semakin mandulnya kebudayaan masyarakat karena diurus oleh negara (Kompas, 27/11). Urusan kebudayaan adalah urusan para pemilik, penghayat nilai-nilai dan praktik kebudayaan, yaitu masyarakat. Pertanyaan pentingnya adalah benarkah ancaman terhadap mandulnya kebudayaan masyarakat semata-mata datang dari sebuah institusi yang bernama negara? Dan lalu bagaimanakah posisi sesungguhnya negara dalam hal ini?


Ada sekian banyak alasan yang dikemukakan Nurul Huda untuk mendasari kesimpulan bahwa negara tidak perlu mengurus masalah kebudayaan. Salah satunya karena ia percaya pada teori politik modern bahwa negara yang baik dan efektif adalah yang mampu mengurusi seminimal mungkin aneka masalah kemasyarakatan. Selain itu, ia juga melihat setidaknya ada tiga alasan lain. Pertama, negara—yang dalam hal ini adalah elit politik—tidak mempunyai kompetensi dan kapasitas untuk memahami kebudayaan masyarakatnya yang beragam. Kedua, justru sebaliknya, negara bahkan merusak kebudayaan rakyatnya. Dan ketiga, model negara Leviathan tidak mampu mengakomodasi keragaman kebudayaan dan perbedaan pandangan dalam negara yang majemuk.


Sejauh menyangkut ancaman negara terhadap kebudayaan masyarakat, Nurul Huda telah melakukan pemetaan masalah dengan tepat. Tetapi ia lupa, bahwa ancaman terhadap kebudayaan masyarakat tidak hanya datang dari negara (kuasa politik). Ancaman yang tidak kalah bahayanya—atau malah jauh lebih berbahaya—justru datang dari ‘dunia modal’ (kuasa ekonomi). Pada titik persinggungan antara modal, negara, dan masyarakat, maka kita mesti lebih cermat memetakan peran negara—setidaknya perannya sebagai mesin regulasi yang penting. Proses rontoknya kebudayaan masyarakat yang menyangkut kepentingan fundamental mereka justru terjadi karena perselingkuhan kuasa ekonomi dengan kuasa politik, antara modal dengan negara. Alih-alih melindungi dan mengakomodasi hak-hak ekonomi, sosial dan kebudayaan masyarakat, negara telah hampir berperan sempurna sebagai agen yang mengakomodasi kepentingan-kepentingan modal semata.


Dari catatan sejarah kita bisa melihat bagaimana, misalnya, budaya tanah dan pertanian tradisional dirontokkan oleh kebijakan tanam paksa pemerintah kolonial Hindia Belanda dan kebijakan intensifikasi pertanian (Revolusi Hijau) Orba, budaya pengelolaan hutan tradisonal rontok oleh kebijakan HPH (Hak Penebangan Hutan), atau juga bagaimana kesenian tradisi dijinakkan menjadi sekedar hiburan untuk kepentingan pariwisata.


Paham bahwa negara adalah institusi yang netral telah lama kehilangan dasar alasannya. Pertama, karena memang seharusnya negara memperjuangkan kepentingan-kepentingan masyarakatnya. Dan kedua, karena pada praktiknya kita bisa melihat dengan gamblang bahwa banyak kepentingan yang bisa bermain dalam tubuh negara, baik penguasa modal ekonomi lokal maupun modal ekonomi internasional. Tetapi pertemuan negara—yang merupakan representasi elit politik dan kekuatan modal ekonomi nasional—dengan modal internasional memang tidak selalu berjalan mulus.


Dalam Peristiwa Mei 1998 (Reformasi) misalnya, restrukturisasi modal besar-besaran yang terjadi pada 1965, sekalipun ada hambatan dan riak kecil pada 1978, mendapatkan momentumnya pada 1998. Modal ekonomi internasional sudah tidak lagi bisa mengakomodasi ekonomi kroni Orba yang memakan banyak ongkos produksi, memunculkan keresahan sosial, yang pada gilirannya akan membahayakan dan merusak struktur modal mereka. Kepentingan modal ekonomi internasional itu kemudian bertemu dengan kekuatan rakyat yang bermotif perlawanan dan perbaikan ekonomi-politik.


Lalu bagaimana peta kekuasaan negara pascareformasi? Serta bagaimana kelanjutan peta konflik antara kekuatan modal dan kekuatan rakyat di tubuh negara?


Reformasi, seperti dikemukakan secara ringkas di atas, adalah pertemuan sementara antara kepentingan modal ekonomi internasional dengan daya rakyat melawan penindasnya. Oleh karena itu, langgam-langgam kebijakan reformasi kental dengan kebijakan kompromis. Pemilu multipartai, pemilihan presiden langsung, desentralisasi kekuasaan, dan banyak lagi yang lain, sesungguhnya adalah medan yang di dalamnya terjadi perebutan kepentingan terus-menerus antara kekuatan modal dan kepentingan masyarakat. Kebijakan-kebijakan tersebut bisa menguntungkan masyarakat sekaligus bisa membuka potensi yang besar bagi pemilik modal untuk semakin berkuasa. Masyarakat mempunyai peluang yang besar untuk memainkan bandul reformasi ini sesuai dengan kepentingan kelompok, sektor, maupun kepentingan wilayah mereka. Sedangkan penguasa modal ekonomi juga mempunyai potensi untuk bermain sampai tingkat yang paling kecil dan mendasar tanpa harus melewati birokrasi negara yang terpusat seperti di era Orba.


Bagaimanapun juga, kekuatan-kekuatan tersebut haruslah melewati institusi negara sebagai mesin birokrasi. Kekuatan masyarakat perlu meminjam atau memanfaatkan tangan negara untuk memperkuat perjuangannya, dan penguasa modal ekonomi memerlukan birokrasi negara agar bisa mengeluarkan kebijakan-kebijakan ramah modal.


Di wilayah seperti inilah, maka peran negara mesti dilihat secara jeli. Karena tanpa peran negara, kebencian dan trauma masyarakat terhadap negara otoriter Orba, bisa jadi justru akan menikam balik mereka. Lepasnya masyarakat dari otoritarianisme negara, bukan berarti lepasnya masyarakat dari belenggu yang lain. Jika tidak berhati-hati, masyarakat memang bisa lepas dari mulut singa negara, tetapi masuk ke mulut buaya modal. Privatisasi BUMN, swastanisasi lembaga-lembaga pendidikan, dikuasainya hajat hidup masyarakat dalam hal tanah, air, dan sumber-sumber daya alam yang lain, adalah salah satu contoh masuknya masyarakat kita ke dalam mulut buaya modal.


Dengan peta masalah seperti di atas, menurut hemat kami justru negara harus tetap memainkan perannya, tetapi secara proporsional, dan di sisi yang lain masyarakat juga harus bersiasat memanfaatkan peran negara. Kebijakan-kebijakan yang membahayakan kebudayaan dan kepentingan masyarakat dari ancaman modal ekonomi besar haruslah lebih dulu dihadang oleh negara. Apa yang kita alami sekarang memang masih menyisakan tanda tanya besar. Sebagai contoh, kalau dulu di era Orba kebudayaan disandingkan dengan pendidikan dalam Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, maka sekarang perubahannya tidak semakin baik karena kebudayaan diurus oleh Departemen Pariwisata dan Kebudayaan. Terlepas dari politik kebudayaannya yang masih sentralistis—seperti telah disinggung Nurul Huda—penyandingan kebudayaan dengan pariwisata jelas-jelas memerlihatkan dua hal. Pertama, hal ini merupakan upaya mengkomoditaskan kebudayaan.


Dan kedua, hal ini masih melanjutkan “tradisi lama” mereduksi kebudayaan menjadi sekadar kesenian yang steril dan tak ada sangkut-pautnya dengan soal-soal ekonomi politik.Kerja kebudayaan dalam tubuh negara seharusnya menjadi urusan semua departemen. Karena kerja kebudayaan tidak akan pernah bisa lepas dari kerja ekonomi politik. Misalnya, memudarnya kesenian tradisi dan kebijaksanaan lokal, bukanlah semata-mata soal kesenian yang menjadi tanggungjawab sebuah departemen khusus, melainkan hal itu berkaitan dengan masalah kebijakan pendidikan nasional, kebijakan tentang muatan lokal dalam siaran televisi, kebijakan otonomi daerah, kebijakan tentang investasi modal asing, dan sebagainya.


Dengan demikian, kalaupun kerja kebudayaan dilakukan oleh sebuah departemen khusus, maka sifat kerjanya adalah lintas-departemen. Atau tidak perlu ada satu departemen khusus, namun pada masing-masing departemen ada sebuah divisi kebudayaan. Dengan catatan, kedua model tersebut harus mempunyai sikap kebudayaan yang jelas, yaitu berpihak kepada kepentingan masyarakat.


Tetapi sebagaimana disinggung Nurul Huda, pasrah bongkokan kepada negara untuk mengurus kebudayaan adalah juga hal yang berbahaya. Oleh karenaya ada siasat lain yang harus dilakukan masyarakat tanpa sepenuhnya bergantung pada peran negara. Misalnya melakukan penguatan lembaga-lembaga informal masyarakat sebagai sebuah sistem dan budaya tandingan, terutama guna memainkan peran dalam melakukan tawar-menawar dengan kekuasaan negara dan modal (kebudayaan dominan).


Akhir-akhir ini, bolehlah kita sedikit optimis dengan hal tersebut. Banyak sekali organisasi kebudayaan yang dijalankan oleh anak-anak muda, yang menaruh perhatian pada penguatan berbagai kelompok masyarakat. Ini adalah perkembangan yang menggairahkan, sebagai tandingan atas kecenderungan umum untuk membicarakan dan mereduksi kebudayaan sebagai kesenian belaka. Dan celakanya pembicaraan tentangnya melulu ke masalah penafsiran serta kelindan estetika: wacana tak bertaji dan tak jelas guna sosialnya.


ANTARIKSA, peniliti pada KUNCI Cultural Studies Center.
PUTHUT EA, penulis cerita, anggota Akademi Kebudyaan Yogyakarta.

Sumber: www.kunci.or.id/misc/a_negara.htm

Pentingnya Negara Mengurus Kebudayaan

Oleh Cecep Rukendi

Akhir-akhir ini kembali muncul diskursus tentang pentingnya pembangunan kebudayaan nasional. Namun di antara penggiat kebudayaan, belum ada persepsi yang sama mengenai siapa yang berhak mengurus kebudayaan. Mh Nurul Huda, peneliti pada Desantara Institute for Cultural Studies misalnya, tidak sepakat dengan dibentuknya sebuah departemen yang mengurus kebudayaan (Kompas, 27/11/2004).

Huda berpendapat bahwa negara atau pemerintah tidak berwenang menafsirkan kebudayaan rakyatnya. Bila negara mengurus kebudayaan rakyatnya, maka yang akan terjadi adalah menyempitnya ruang kreatif masyarakat, terjadinya penaklukan daya kultural masyarakat oleh penguasa, dan misrepresentasi nilai budaya akibat hasil produksi budaya oleh negara. Ini sebenarnya senada dengan apa yang pernah didengungkan oleh Ignas Kleden dekade 1980-an yang menyatakan bahwa struktur (politik) telah mengalahkan kultur (masyarakat) pada saat pemerintah Orde Baru (Orba) berkuasa.

Pendapat tersebut tidak didasarkan pada realitas sosial budaya bangsa kita yang lengkap. Kendati memang ada trauma pada politik budaya Orba dulu ketika kultur (budaya) dimani-pulasi untuk kepentingan status quo penguasa. Pendapat tersebut justru mirip apologi para teknokrat Orba yang mengabaikan pembangunan kebudayaan, karena menganggap pembangunan kebudayaan akan terjadi dengan sendirinya berkat pembangunan ekonomi sehingga tidak perlu perencanaan khusus untuk mengurus kebudayaan bangsa.

Memang tidak akan pernah ada definisi yang seragam tentang kebudayaan. Namun bila semua definisi tentang kebudayaan tersebut dikumpulkan tampak akan ada benang merah bahwa kebudayaan memiliki dua aspek, yaitu aspek statis dan dinamis. Aspek statis merujuk pada benda-benda hasil budaya peninggalan masa lalu dan sekarang.

Sedangkan aspek dinamis dari kebudayaan merujuk pada nilai-nilai, pandangan hidup, norma-norma, kepercayaan, dan hal-hal lainnya yang bersifat abstrak yang selalu mengalami proses reproduksi (dekonstruksi dan rekonstruksi) oleh masyarakat pemilik kebudayaan itu sendiri.
Bisa Berjalan Tanpa Diurus Pemerintah?

Dengan melihat kedua aspek kebudayaan tersebut, justru menunjukkan betapa perlunya negara dalam hal ini pemerintah mengurus kebudayaan bangsa secara terencana dalam suatu departemen yang melaksanakan pembangunan kebudayaan.

Yang paling utama dari aspek statis kebudayaan bangsa kita adalah mengenai masih lemahnya pemeliharaan dan pengelolaan benda-benda hasil budaya serta masih rendahnya apresiasi budaya dan kesadaran sejarah bangsa kita. Ribuan benda dan situs bernilai budaya dan sejarah masih banyak yang terbengkalai dan terancam rusak karena minimnya kualitas sumber daya manusia (SDM) dan anggaran negara untuk memelihara dan mengelolanya. Pertanyaannya adalah apakah hal itu bisa ditangani secara langsung oleh masyarakat? Apakah konservasi candi Borobudur, museum-museum, dan sebagainya bisa berjalan dengan sendirinya tanpa diurus oleh pemerintah?

Dalam aspek dinamis kebudayaan, kita melihat bahwa secara internal betapa masih lemahnya bangsa kita dalam mengelola ratusan perbedaan budaya bangsa sehingga sering terjadi konflik antarsuku bangsa, antarpemeluk agama, antarras, dan antargolongan yang mengancam integrasi atau kesatuan bangsa. Secara eksternal, dalam menghadapi globalisasi, ketahanan budaya bangsa kita juga masih sangat rendah karena tidak adanya jati diri yang menjadi kebanggaan dan filter bangsa kita dalam menghadapi serbuan budaya asing yang tidak semuanya baik.

Bangsa kita juga masih mengalami disorientasi nilai pascaruntuhnya Orde Baru sehingga rasa takut, rasa malu, dan rasa bersalah seolah lenyap dari kehidupan keseharian kita. Sebagian bangsa kita juga tampak kehilangan argumentasi mengapa kita bersatu dalam satu bangsa karena masih abu-abunya pembentukan kebudayaan nasional sebagai tempat berpijak dan tujuan yang hendak dicapai oleh seluruh unsur pendukungnya. Pertanyaannya sekali lagi adalah apakah krisis budaya tersebut akan lenyap dengan sendirinya bila diserahkan pada masyarakat sepenuhnya tanpa ada bantuan dari negara?

Tiga Syarat Pelaksanaannya

Dibentuknya kembali Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (Depbudpar) dalam Kabinet Indonesia Bersatu dengan visi ”terwujudnya jati diri bangsa, persatuan dan kesatuan bangsa dalam kerangka multikultural, kesejahteraan rakyat, dan persahabatan antarbangsa” sebagaimana tercantum dalam rancangan rencana strategis (2005-2009) merupakan suatu langkah yang tepat untuk membangun kebudayaan bangsa yang masih carut-marut tersebut.
Namun, demi tercapainya pembangunan kebudayaan bangsa secara efektif, ada tiga hal yang harus menjadi syarat pelaksanaannya. Pertama, dari segi paradigma, pembangunan kebudayaan harus dilihat sebagai pembangunan harkat dan martabat manusia Indonesia seutuhnya untuk pemajuan peradaban bangsa. Kebudayaan jangan dilihat sebagai komoditi untuk dikonservasi atau komoditi untuk dijual (dieksploitasi) demi kepentingan industri pariwisata semata sebagaimana diresahkan oleh penggiat budaya selama ini.
Kedua, dari segi operasional, meskipun telah berubah status dari kementerian menjadi departemen yang mengurus kebudayaan dan pariwisata, Depbudpar harus tetap memosisikan diri sebagai pembina dan fasilitator yang mendorong dan memberdayakan masyarakat sebagai pelaku utama dalam pembangunan kebudayaan.

Ketiga, dari segi sumber daya manusia (SDM), karena begitu kompleksnya urusan kebudayaan, Menbudpar juga harus melibatkan banyak pihak yang peduli terhadap pembangunan kebudayaan baik dalam perencanaan, pelaksanaan, maupun evaluasi program kegiatannya. Antropolog dan sosiolog yang mendalami aspek dinamis dan segi abstrak kebudayaan, arkeolog yang lebih memahami aspek statis dan wujud fisik kebudayaan, seniman yang terjun dalam dunia praktis dan kebudayaan populer, serta birokrat yang berpengalaman dalam memanajemen program akan memberikan gambaran yang lebih holistik dalam menyusun dan melaksanakan pembangunan kebudayaan.

Dengan ketiga syarat dalam pelaksanaan pembangunan kebudayaan tersebut, kekhawatiran bahwa pemerintah akan memanipulasi kebudayaan demi kepentingan status quo kekuasaannya akan bisa dihindari.

CECEP RUKENDI, staf Litbang Kebudayaan, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. Tulisan ini adalah pendapat pribadi. Tulisan ini dimuat di Sinar Harapan, 11 Desember 2004.

Negara Perlu Mengurus Kebudayaan?


Oleh Mh Nurul Huda
URUSAN kebudayaan akhirnya diserahkan pada departemen khusus. Meski demikian, pertanyaan mendasar tetap perlu dikemukakan. Perlukah negara mengatur kebudayaan? Jika penting, masalahnya penting bagi siapa?

Persoalan ini mendesak diperbincangkan karena masalah kebudayaan terkait dengan kehidupan berbangsa dan bernegara. Masalah kebudayaan menyangkut pengalaman dan penghayatan masyarakat terhadap lingkungan sekitar, terutama terhadap hidupnya.

Sebagai cakrawala pengalaman hidup, masyarakat memiliki kebebasan menghayati cara dan pandangan hidupnya tanpa harus diintervensi, diatur, atau dipaksa siapa pun, termasuk negara. Bila itu terjadi, risikonya bisa fatal.

Pengalaman rezim Orde Baru memberi pelajaran pahit, betapa kebudayaan menjadi instrumen dalam skenario nasional untuk menundukkan rakyat, dan menjadikan mereka individu-individu yang patuh, tanpa energi kritis. Hal ini bisa dilihat, misalnya, lewat kebijakan bersemboyan "budaya nasional sebagai puncak budaya-budaya daerah" atau penanaman ideologi negara keluarga ala Orba.Contoh pertama memuat kepentingan pemerintah saat itu untuk menyeleksi berbagai macam kebudayaan yang dianut masyarakat yang bisa dianggap menjadi modal "pembangunan". Budaya yang dianggap tak menyokong "pembangunan" dan mendukung "stabilitas nasional" berarti terbelakang, dianggap tak berbudaya (uncivilized). Karena itu, harus dieliminasi. Biasanya budaya semacam itu diperlawankan dengan budaya-budaya yang dianggap lebih membawa unsur kemajuan, "beradab", dan modern.

Secara ideologis, Orba menanamkan kekuasaan melalui pencitraan keluarga Indonesia yang harmonis dan patuh. Melalui manipulasi pencitraan, Orba memerintah negara dan membentuk bangsa bak keluarga harmonis. (Mengenai citra keluarga dalam politik Orba lihat S Shiraishi, Pahlawan-pahlawan Belia, 2001). Dalam perjalanannya, dua "diskursus" strategi budaya versi negara ternyata amat berorientasi harmoni dan totalitarian serta menyembunyikan maksud penyeragaman dan penaklukan.
Dalam diskursus kebudayaan belum pernah ditemukan definisi yang mapan mengenai apa itu kebudayaan. Memang para filsuf, antropolog, sosiolog, dan ilmuwan disiplin lain memberi definisi berbeda-beda. Perbedaan ini menunjukkan, tiap pendefinisian terhadap kebudayaan selalu bersifat perspektivis dan parsial. Maka, makna kebudayaan tak pernah benar-benar netral. Karena itu, selalu bersifat dinamis, bisa dipertukarkan dengan budaya kelompok lain yang berbeda dan tak pernah stabil karena selalu tergantung pada penghayatan serta pengalaman hidup individu dan masyarakat yang pada dasarnya selalu berubah.

Bila definisi minimalis terpaksa diberikan, meski mereduksi makna kebudayaan, misalnya budaya sebagai kepercayaan, nilai-nilai, norma, sentimen, dan praktik-praktik yang memberi makna dan nilai pada kehidupan manusia, siapa yang berhak dan berkompeten secara moral dan epistemologi menafsirkan kebudayaan? Pemerintah atau negara tertentu yang dianggap merepresentasikan rakyat atau bangsanya?

Jawabannya jelas, hanya pemilik dan penghayat nilai-nilai dan praktik kebudayaan itulah yang paling berkompeten menafsirkan. Karena mereka yang mencipta, mengalami, menghayati, dan menghidupi praktik-praktik budayanya. Karena itu, pemerintah atau negara tak berwenang menafsirkan budaya rakyatnya. Pendapat ini didasarkan tiga hal.

Pertama, secara teoritis elite pemerintah atau negara tidak memiliki kapasitas dan kompetensi memahami kebudayaan rakyatnya yang beragam. Kedua, secara empiris para elite umumnya tak memiliki kepedulian, sebaliknya justru merusak kekayaan budaya masyarakat. Hal ini tampak dalam kebijakan kebudayaan Orba dengan memperlakukan secara diskriminatif keberadaan agama dan kepercayaan yang berbeda-beda dalam masyarakat. Ketiga, model negara Leviathan Hobbes, yang menjadi impian para pemimpin totaliter dan biasanya diulang- ulang sebagai dasar negara kedaulatan yang berpretensi menghapus konflik dan memelihara perdamaian, kini sudah dianggap usang karena model ini tak mampu mengakomodasi keragaman kebudayaan dan perbedaan pandangan dalam negara yang plural dan heterogen.

Dalam teori politik modern, negara yang baik dan efektif adalah yang mampu mengurusi seminimal mungkin aneka masalah kemasyarakatan. Karena itu, pemerintah yang selalu bertendensi mengatasnamakan rakyat dan hendak mengurusi semua urusan masyarakat justru harus diwaspadai sebagai upaya mengintervensi kehidupan kultural masyarakat. Kapan rakyat bisa berbicara atas nama sendiri bila representasi kehidupan kulturalnya diambil alih negara?
Dengan adanya departemen kebudayaan dalam susunan kabinet, sebenarnya menunjukkan, pemerintah masih menggunakan cara-cara dan paradigma Orba dalam manajemen politiknya. Bukan hanya kekhawatiran soal munculnya militerisme, tetapi juga kembalinya pandangan tradisional yang menganggap negara menjadi semacam panasea atau institusi politik yang berpretensi menyelesaikan segala persoalan dan semua urusan masyarakat. Hal ini akan melahirkan bencana dan risiko politik.
Pertama, ini membuat ruang kreatif masyarakat untuk mendiskusikan dan menyelesaikan aneka persoalannya kian sempit. Mekanisme dialog antarmasyarakat akan sarat diwarnai formalisme dan berkurangnya inisiatif masyarakat akibat pendekatan politik yang top-down.
Kedua, munculnya departemen kebudayaan akan menjadi semacam "kuda troya" bagi masuknya ragam kepentingan politik untuk menaklukkan dan melumpuhkan kembali daya- daya kultural masyarakat yang plural. Karena, kebudayaan tak pernah netral, departemen ini akan jadi persaingan dominasi kepentingan dan wacana berbagai kelompok yang mungkin akan menentukan arah kebijakan kebudayaan mendatang.
Ketiga, karena departemen kebudayaan adalah hasil representasi budaya yang diproduksi negara, besar kemungkinan terjadi misrepresentasi atas nilai, sentimen, praktik, dan tuntutan masyarakat atas aspirasi budayanya. Akibatnya, apa yang dibayangkan sebagai jati diri atau nilai budaya bangsa bisa jadi hanya manipulasi kepentingan penguasa. Sebagaimana klaim "nilai-nilai ketimuran", "nilai- nilai Asia", atau "nilai-nilai budaya nasional" yang selama ini digunakan elite penguasa sebagai pembenaran pelanggaran prinsip-prinsip demokrasi dan hak-hak politik masyarakat.
Berbagai persoalan itu adalah risiko ketika negara ditempatkan di atas segala-galanya dengan terlalu banyak mengurusi masalah masyarakat. Masalah ini akan menjadi bencana bila kita terlalu pasrah bongkokan tanpa sikap kritis terhadap kebijakan pemerintah yang telah dipilih secara demokratis ini.
*Artikel ini dimuat di KOMPAS, Sabtu, 27 November 2004

Budaya sebagai Medan Pertarungan Kuasa

Oleh Antariksa

Banyak karya cultural studies memahami komunikasi sebagai tindakan produksi makna, dan bagaimana sistem-sistem makna dinegosiasikan oleh pemakainya dalam kebudayaan. Kebudayaan bisa pula dimengerti sebagai totalitas tindakan komunikasi dan sistem-sistem makna. Posisi seseorang dalam kebudayaan akan ditentukan oleh 'kemelek-hurufan budaya' (cultural literacy), yaitu pengetahuan akan sistem-sistem makna dan kemampuannya untuk menegosiasikan sistem-sistem itu dalam berbagai konteks budaya.

Pandangan yang melihat komunikasi sebagai sebuah tindakan budaya, yang memerlukan berbagai bentuk kemelek-hurufan budaya, sangat dipengaruhi oleh pemikiran sosiolog Perancis Pierre Bourdieu. Ide-idenya sangat berguna karena ia mengatakan bahwa 'tindakan' (practice) atau apa yang secara aktual dilakukan seseorang, merupakan bentukan dari (dan sekaligus respon terhadap) aturan-aturan dan konvensi-konvensi budaya.

Salah satu cara memahami hubungan kebudayaan dengan tindakan adalah mengikuti pengandaian Bourdieu tentang perjalanan dan peta. Kebudayaan adalah peta sebuah tempat, sekaligus perjalanan menuju tempat itu. Peta adalah aturan dan konvensi, sedangkan perjalanan adalah tindakan aktual. Apa yang disebut dengan kemelek-hurufan budaya adalah "perasaan" untuk menegosiasikan aturan-aturan budaya itu, yang bertujuan untuk memilih jalan kita dalam kebudayaan. Tindakan adalah performance dari kemelek-hurufan budaya.

Kemelek-hurufan budaya misalnya dapat dilihat dalam sebuah film Jepang Tampopo, dalam adegan ketika sekolompok pebisnis Jepang makan bersama di sebuah restoran Perancis yang mahal. Perilaku kelompok dalam budaya bisnis Jepang dikenal bersifat sangat hirarkis. Dalam acara makan bersama macam ini, kebiasaan yang umum berlaku adalah seseorang yang dianggap superior dalam kelompok akan terlebih dulu memesan makanan, kemudian orang lain tinggal mengikutinya saja.

Kebiasaan itu jadi berubah ketika mereka harus "tampil" di sebuah restoran Perancis, yang tentu saja menuntut kemelek-hurufan dalam makanan dan anggur Perancis. Seseorang yang dianggap pemimpin dalam kelompok ini ternyata buta huruf dalam wilayah ini: ia tak mengenal dan tak bisa membayangkan makanan yang terdaftar di menu. Ia juga tak tahu bagaimana menyesuaikan jenis anggur dengan jenis makanan yang dipilih. Akhirnya ia memesan makanan dan anggur sekenanya. Semua anggota kelompok ini, kecuali satu orang saja, sama-sama buta hurufnya dan memilih hidangan dengan mengikuti pilihan pemimpinnya.

Pesanan terakhir dari seorang pebisnis muda, sangat berbeda dengan pesanan lainnya. Pesanannya menunjukkan bahwa ia sangat melek huruf dalam makanan dan anggur Perancis. Ia tampak tenang mengahadapi menu, membaca dan menganalisisnya, dan menunjukkan betapa ia sangat tahu akan semua yang dilakukannya. Ia berbicara sebentar dengan pelayan, mengajukan beberapa pertanyaan "bermutu", dan akhirnya menjatuhkan pilihan yang sangat "berselera". Semua koleganya sangat terkesan dan ini membuka peluang yang lebih baik buat si pebisnis muda itu meningkatkan posisinya dalam dunia bisnis.

Lantas bagaimana kemelek-hurufan budaya diterjemahkan ke dalam tindakan seseorang? Untuk menjelaskannya, kita memerlukan 3 konsep lagi dari Bourdieu: 'medan budaya' (cultural field), habitus, dan 'modal budaya' (cultural capital).

Bourdieu mendefinisikan medan budaya sebagai institusi, nilai, kategori, perjanjian, dan penamaan yang menyusun sebuah hierarki objektif, yang kemudian memproduksi dan memberi "wewenang" pada berbagai bentuk wacana dan aktivitas; dan konflik antarkelompok atau antarindividu yang muncul ketika mereka bertarung untuk menentukan apa yang dianggap sebagai "modal" dan bagaimana ia harus didistribusikan. Yang disebut modal oleh Bourdieu meliputi benda-benda material (yang bisa mempunyai nilai simbolis), prestise, status, otoritas, juga selera dan pola konsumsi.

Kekuasaan yang dimiliki seseorang dalam sebuah 'medan' (field), ditentukan oleh posisinya dalam medan itu, yang pada gilirannya akan menentukan besarnya kepemilikan modal. Kekuasaan itu digunakan untuk menentukan hal-hal macam mana yang bisa disebut modal (keaslian modal).

Modal selalu tergantung dan terikat pada medan tertentu, ia bersifat partikular. Dalam medan gaya hidup remaja Indonesia sekarang misalnya, pengenalan akan film dan musik Amerika, kemampuan berbahasa gaul, atau berdandan dengan gaya tertentu, bisa disebut sebagai modal. Bagaimanapun, kemampuan-kemampuan ini, bukanlah modal, misalnya saja, dalam medan pelayanan diplomatik.

Pemahaman seseorang akan modal berlangsung secara tak sadar, karena menurut Bourdieu dengan cara begitulah ia akan berfungsi efektif. Seperangkat pengetahuan, aturan, hukum, dan kategori makna yang ditanamkan secara tak sadar ini oleh Bourdieu disebut habitus. Habitus bersifat abstrak dan hanya muncul berkaitan dengan putusan tindakan: ketika seseorang dihadapkan pada masalah, pilihan atau konteks. Dengan begitu habitus bisa juga dimengerti sebagai "feel of the game".

*Newsletter KUNCI No. 11, Februari 2002